Custom Search

Tuesday, December 18, 2012

AKUNTANSI: Dalam Perspektif Al-Qur’an

Oleh: Nur Hidayat, SE.
Alumni S1 Akuntansi, Mahasiswa Program Magister (S2)
Ekonomi Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Doktor (S3) Akuntansi Pajak Universitas Padjadjaran (UNPAD).


Al-Qur’an (2:282)

Ya ayyuha al-ladzina amanu idza tadayantum bi-daynin ila ajalin musamman fa-aktubuhu, wa-alyaktub baynakum katibun bi-al-’adli, wala wa’ba katibun an-yaktuba kama ‘allamahu Allah, falyaktub walyuhlili al-ladzi ‘alaihi al-haqqu walyattaqi Allaha Rabbahu wala yabkhas minhu syayan, fa-in kana al-ladzi ‘alaihi al-haqqu safihan aw dha’ifan aw la yastathi’u an yumilla huwa falyuhlil waliyyuhu bi-al’adli, wa-astasyhidu syahidayni min rijalikum fain lam yakuna rajulayni fa-rajulun wa-amraatani minhunna tardhawna mina al-syuhadai an tadhilla ihdahuma fa-tudzakkira ihdahuma al-ukhra, wala yaba al-syuhadau idza madu’u, wala tas’amu an-taktubuhu shaghiran aw kabiran ila ajalihi, dzalikum aqsathu ‘inda Allahi wa-aqwamu li-asysyahadati wa-adna alla tartabu illa an yakuna tijaratan hadhiratan tudirunaha baynakum fa-laysa ‘alaikum junahun alla taktubuha wa-asyhidu idza taba ya’tum, wala yudharra katibun wala syahidun, wa-in taf’alu fainnahu fusuqun bikum, wa-attaqu Allaha, wa-yu’allimukumu Allaha wa-Allahu bikulli syayin ‘alimun.


Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah (transaksi ekonomi pen.), tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkannya (apa-apa yang ditulis itu). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Maka jika orang-orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendak-lah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil dan janganlah kamu jemu menuliskan hutang (transaksi ekonomi pen.) itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah transaksi ekonomi itu), kecualai jika muamalah (transaksi ekonomi) itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu (jika) tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu melakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (cetak tebal dari penulis).


Pembahasan

Kegiatan ekonomi adalah suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, bahkan kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang terpenting dalam kehidupan manusia (Natsir, 1999:28). Transaksi ekonomi yang lazim dilakukan oleh manusia sejak permulaan ekonomi dikenal hingga saat ini tidak dapat disangkal bahwa telah banyak terjadi perubahan-perubahan baik dalam praktek maupun teori-teori yang diperkenalkan mulai dari transaksi yang sederhana (barter dll.) sampai dengan yang meng-gunakan teknologi cangggih (transaksi via internet), namun perubahan dan kemajuan-kemajuan tersebut pada intinya masih berkutat pada wilayah penjualan, pembelian, utang-piutang, kepemilikan (harta), modal, dan lain sebagainya yang dalam kontek Islam dikenal dengan “muamalah” walaupun pada prakteknya telah sangat berbeda dengan kejadian pada awal manusia mengenal sistem ekonomi.
Kemajuan-kemajuan dalam berekonomi menuntut adanya suatu sistem eko-nomi yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat yang ada sesuai dengan budaya, agama, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Tuntutan yang diketengahkan untuk menjawab berbagai kebutuhan dalam berekonomi menurut Stoner (1992:43) diantaranya adalah pengelolaan akuntansi.
Keragaman transaksi ekonomi membuat manusia yang mempunyai kemam-puan terbatas untuk mengingat semua kejadian-kejadian sehingga disadari akan perlunya suatu sistem akuntansi yang cukup baik sesuai dengan kebutuhan (Hadibroto, 1984:8), para perancang sistem akuntansi melakukan kerja kerasnya untuk menemukan suatu sistem yang efisien, dapat dikontrol, dan dapat diper-tanggungjawabkan.
Petunjuk Allah diberikan melalui Al-Qur’an, seperti pernyataannya dalam Al-Qur’an (5:16-17)
... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.

Dalam ayat lain (QS, 16:89) Allah menyatakan,
...dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala urusan...
Memberikan bukti bahwa Allah senantiasa memberikan petunjuk dan penjelasan bagi kepentingan manusia untuk mencapai kebaikan (kemaslahatan) dan jalan yang lurus, karena Allah selalu mengatakan yang sebenarnya dan senantiasa memberikan jalan yang benar (QS, 33:4).
Keuniversalan al-Qur’an ternyata telah mengcover apa yang saat ini tengah dibutuhkan dalam transaksi ekonomi, yang dikenal oleh dunia sekarang dengan nama “akuntansi” atau “accounting” yang dalam bahasa Arab memiliki padanan “al-muhasabah”.
Dunia modern telah mengakui betapa penting dan dibutuhkannya akuntansi dalam dunia bisnis (Freeman, et.al., 1973:2). Menurut Meigs dan Meigs (1991:4) akuntansi adalah sebagai bahasa bisnis (lenguage of business), sebutan terse-but cukup beralasan, karena akuntansi sangat berguna sebagai dasar peng-ambilan keputusan bisnis (Fess dan Warren, 1989:9).
Untuk melakukan apa yang telah dipesankan oleh Allah [akuntansi pen.] (QS, 2:282) agar dilakukan dengan cara yang profesional. Hal ini sesuai dengan firman Allah (QS, 2:237)
...dan janganlah kamu melupakan keutamaan [keprofesionalan pen.] diantara kamu.
Selanjutnya ditegaskan lagi oleh Allah (QS, 17:36)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai penge-tahuan [keprofesionalan] tentangnya [akuntansi], karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertang-gungjawabannya (cetak tebal ditambahkan).


Al-Qur’an (2:282) telah menganjurkan [mewajibkan] melakukan pencatatan bila melakukan transaksi ekonomi sesungguhnya memiliki nilai urgensi yang sangat tinggi, adanya pencatatan dapat dijadikan alat bukti (hitam di atas putih), menggunakan saksi (untuk transaksi-transaksi yang material) sangat diperlukan karena dikhawatirkan pihak-pihak tertentu mengingkari perjanjian yang telah dibuat, dan tentu saja adanya sistem pelaporan yang komprehensip akan meman-tapkan manajemen karena semua transaksi dapat dikelola (dikendalikan) dengan baik sehingga terhindar dari kebocoran-kebocoran. Laba yang dibukukan dengan benar akan dapat membantu menunaikan kewajiban zakatnya seperti yang telah dianjurkan Allah (QS, 2:43). Dus, adanya akuntansi memiliki tujuan agar tercipta keadilan, dan terhindar dari perselisihan bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi (Widodo, 1999:60-61). Menurut Harahap (1999:120) tekanan tujuannya adalah pada kebenaran, kepastian, keterbukaan, keadilan antara dua pihak yang mempunyai hubungan muamalah. Dan yang terpenting adalah, adanya akuntansi diharapkan dapat mengikat individu pada suatu jaringan etika dalam rangka menciptakan realitas sosial (menjalankan bisnis) yang mengandung nilai ketuhanan (tauhid) dan ketundukan kepada ketentuan Tuhan (Triyuwono, 2000:25). Dapat dipahami bahwa akuntansi bermanfaat untuk menjaga kekayaan dan penghasilan yang didapat agar terhindar dari kebocoran-kebocoran, dari akuntansi pula diharapkan dapat menghitung kewajiban zakatnya dengan benar, hal demikian selain memiliki dampak sosial yang baik dalam rangka mengangkat si miskin dari kekurangan, dan yang terpenting adalah dalam rangka menjalankan perintah dan amanah Allah sesuai dengan syari’ah.
Transaksi Ekonomi yang memiliki nilai materialitas tinggi yang memiliki kemungkinan perselisihan dikemudian hari relatif besar, maka sesuai pesan ayat di atas agar dipersaksikan dengan dua orang saksi yang adil (tidak memihak) hal ini sejalan dengan pernyataan Allah dalam Al-Qur’an (65:25). Walaupun kemudian ada yang mempertentangankan hal ini dalam tinjauan hukumnya, apakah saksi dalam jual-beli (transaksi ekonomi) hukumnya wajib atau hanya sunah saja? Sayyid Sabiq (1993:66-67) menganggap saksi dalam muamalah (transaksi ekonomi) hukumnya sunah, namun beliau tidak menyangkal bahwa ada sebagian ulama yang mewajibkannya, seperti Atha’ dan an-Nakha’i yang diperkuat dengan pernyataan Abu Ja’far al-Thabari. Namun secara logika-filosofis tidak ada yang menentang diperlukannya saksi untuk transaksi yang memiliki nilai materialitas tinggi.

Hukum Melaksanakan Akuntansi
Menurut ulama ushul fiqh, kaidah ialah persoalan-persoalan umum yang seluruh unsurnya mengandung hukum-hukum bagi bagian-bagian persoalan yang banyak. Kaidah-kaidah berfungsi untuk memahami dan menyimpulkan hukum-hukum syar’i praktis dari dalil-dalil yang terinci (Khallaf, 1980:13).
Kaidah Ushul al-Amri li-al-Ijabi atau al-Ashlu fi al-Amri li al-Wujub (Daniri, 1975:704) yang artinya “perintah itu adalah wajib” kaidah ini untuk digunakan dalam menentukan hukum-hukum syar’i praktis yang wajib, seperti pada firman Allah (QS, 2:282).
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...
Pada potongan ayat di atas, Allah memerintahkan untuk menuliskan transaksi-transaksi ekonomi. Ini merupakan hukum, bahwa penulisan itu adalah wajib (Syahatah, 2001:63-64), penetapan hukum wajib terhadap pencatatan transaksi ekonomi mempunyai urgensi yang tinggi, karena berekonomi adalah urusan manusia yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan (Natisr, 1999:28).
Walaupun kemudian ada yang menganggap bahwa perintah dalam Al-Qur’an (2:282) perintah pencatatan dalam transaksi ekonomi ditafsirkan sebagai perintah yang bermakna anjuran (irsyad) (Usman, 1996:17), anggapan ini menjadi tidak tepat karena sesuai dengan kaidah Ushul Fiqih yang menyatakan bahwa melakukan perbuatan yang menyebabkan syahnya suatu kewajiban hukumnya menjadi wajib, sebagai contoh berwudlu dalam rangka melaksanakan kewajiban salat, maka dalam rangka melaksanakan kewajiban zakat secara benar, melakukan perhitungan harta secara benar (akuntansi) hukumnya menjadi wajib.
Pendapat yang lebih moderat menganggap bahwa perintah membukukan dalam Al-Qur’an (2:282) dapat dimaknai wajib, sunah, atau anjuran (irsyad) tergantung dari pelaku-pelaku transaksi dan tingkat kebutuhannya akan bukti-bukti, argumentasinya apabila perintah dalam ayat di atas mutlak dimaknai wajib yang artinya bila meninggalkan akan berdosa, maka hal ini sangatlah mem-beratkan.
Dalam kaidah yang lain ditemukan bahwa al-Nahyu li al-Tahrim atau menurut Hakim (1983:30) al-Ashlu fi al-Nahi li al-Tahrim artinya “larangan itu adalah untuk pengharaman” dalam menentukan hukum syar’i praktis terhadap persoalan-persoalan yang dilarang.
Dalam ayat ini (2:282) terkandung pula,
.... dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya...
Pada potongan ayat di atas Allah menegaskan bahwa tidak dibenarkan (Allah melarang) mengurangi sesuatu pada perhitungan. Dapat berarti pula bahwa mengurangi hak orang lain itu dilarang (Syahatah, 2001:64). Terkandung pula makna bahwa prilaku dalam keseharian (termasuk transaksi ekonomi) manusia harus mengedepankan kejujuran.
Selanjutnya dijelaskan lagi oleh Allah (QS, 2:282)
... dan janganlah kamu jemu menuliskan utang itu, baik kecil maupun besar...
Dalam ayat ini, terdapat larangan Allah untuk tidak meninggalkan pencatatan transaksi ekonomi baik yang kecil ataupun yang besar. Ini menunjukkan bahwa tidak menuliskan transaksi-transaksi itu (kecil atau besar) hukumnya dilarang (Syahatah, 2001:64).
... dan janganlah kamu enggan memberikan kesaksian....
Pembukuan yang disertai penjelasan dan pensaksian terhadap semua aktivitas ekonomi keuangan berdasarkan surat-surat bukti berupa: faktur, nota, bon, kuitansi, atau akta notaris (yang selalu menggunakan saksi) untuk transaksi-transaksi yang nilai materialitasnya tinggi dan kemungkinan perselisihannya relatif lebih besar. Dalam keadaan “tertentu” saksi dapat digantikan dengan catatan-catatan pembukuan yang punya fungsi legalitas (selama dokumen-dokumen tersebut syah secara hukum).
Argumentasi di atas sesuai dengan penafsiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar Juz 3 Surat Al-Baqarah ayat 282 yang mengemukakan beberapa hal yang relevan dengan akuntansi (al-Muhasabah) betapa penting (wajib)nya memelihara tulisan (transaksi ekonomi) karena tidak selalu pihak yang bertransaksi dapat panjang umur padahal utang-piutangnya masih belum terlunasi, ahli warisnya dapat saja mengingkari karena tidak ditemukannya bukti, dan bila dibelakang hari diperlukan persaksian lagi sudah memiliki dokumen yang dapat dipertanggung-jawabkan karena transaksi sampai sekecil-kecil apapun selalu dibukukan, maka sangat tepat bila anjuran di atas sudah sepatutnya dipahami sebagai perintah (wajib) karena sangat relevan dengan kebutuhan perkembangan ekonomi saat ini.

Koherensi Ayat
(Al-Qur’an, 2: 282 dengan Al-Qur’an, 2:275-281 dan 2:283)

Dalam Al-Qur’an (2:275-281) Allah menjelaskan tentang hukum riba dan akibatnya bagi orang yang memakan riba, dan agar terhindar dari riba dianjurkan menunaikan zakat, Al-Qur’an (2:282) mempunyai hubungan untuk menunaikan zakat dengan perhitungan yang benar (nisabnya), diperlukan perhitungan (pencatatan) harta, utang, modal, pendapatan, dan beban-bebannya dari usaha (kegiatan ekonomi) dengan benar pula.
Hubungannya dengan ayat selanjutnya (QS, 2:283) muamalah (transaksi ekonomi) dapat dilakukan dalam perjalanan, dan hal ini menuntut adanya pencatatan dan pembuktian agar suatu waktu hendak menagih memiliki bukti yang cukup atau adanya barang yang dibawa senilai barang dagangan yang diting-galkan (borg).
Keterkaitan ini lebih memperjelas bahwa tujuan akuntansi (dalam persepktif Al-Qur’an) adalah dalam rangka menyajikan laporan keuangan secara benar sehingga diperoleh informasi yang akurat sebagai dasar perhitungan zakat. Tujuan lain dari akuntansi adalah sebagai bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawab-kan dikemudian hari.

Pesan Akhir Ayat
... dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS, 2:282).
Pesan ini mengisyaratkan bahwa Allah senantiasa menganjurkan untuk bertakwa (takut kepada Allah) dalam menjalankan kegiatan apapun termasuk dalam menjalankan pekerjaan akuntansi, dan membuktikan bahwa Allah senan-tiasa memberi petunjuk dalam hal-hal yang bermanfaat bagi manusia. Terbukti pada saat Al-Qur’an diturunkan kegiatan muamalah (transaksi ekonomi) belum sekompleks sekarang namun demikian Allah telah mengajarkan untuk melakukan pencatatan (akuntansi/al-muhasabah), menganjurkan adanya bukti dan kesaksian, yang pada saat ini akuntansi, notaris, dan sebagainya menjadi hal yang sangat diperlukan agar terhindar dari perselisihan.

Simpulan
Al-Qur’an telah menganjurkan penyelenggaraan pembukuan (akuntansi) dalam menjalankan berbagai bentuk muamalah (transaksi ekonomi), tidak tunai (kredit) wajib dibukukan yang dapat dipahami oleh umum (catatan akuntansi), muamalah yang dilakukan dengan tunai (cash) boleh tidak dilengkapi dengan catatan akuntansi (al-muhasabah), bila kemungkinan adanya perselisihan relatif kecil (jarang terjadi).
Alat bukti yang dibutuhkan dalam transaksi ekonomi adalah bukti tertulis dibuat oleh pencatat yang profesional dalam bidangnya, sehingga dapat diper-tanggungjawabkan secara profesi. Transaksi yang mempunyai nilai materialitas tinggi, selain dibutuhkan bukti tertulis (catatan akuntansi) juga harus dilengkapi dengan saksi, pada saat ini lebih identik dengan akta notaris (yang selalu menggunakan saksi), yang dapat dijadikan bukti yang kuat di depan pengadilan.
Penyelenggaraan akuntansi (al-muahasabah), adanya alat bukti, dan kesaksian semua itu dilakukan atas dasar demi kebaikan hubungan antar manusia dan menjaga agama (hubungan dengan Sang Pencipta).
Wa-Allahu a‘lam bi al-shawab



Referensi


Al-Qur’an al-Kariem

Daniri, Fatihi al- (1975) al-Manhaj al-Ushuliyah fi a-Ijtihadi bi al-Ra’yi, Damsyiq: Dar al-Kitab

Freeman, M.Herbert, et.al.(1973) Accounting 10/12, 2nd edition, New York: McGraw-Hill

Fess Philip E., dan Warren, Carl S. (1989) Accounting Principles, Cincinnati:
South Western Publishing

Hakim, Abdul Hamid, (1983), al-Bayan, Jakarta: Sa’adiyah Putra

Hamka (1983), Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas

Harahap, Sofyan Syafri (1999), Akuntansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara

Hadibroto, S. (1984), Masalah Akuntansi, Buku Satu, Jakarta: LPFE-UI

Khallaf, Abd al-Wahab (1980), Ushul Fiqh al-Islami, Dar al-Kalam

Meigs, Robert F. dan Meigs Walter B. (1991) Accounting The Basis for Business Decision, New York: McGraw-Hill

Natsir, Nanat Fatah (1999), Etos Kerja Wirausahawan Muslim, Bandung: Gunung Djati Press

Soenarjo, at al. (1971) Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir Al-Qur’an

Stoner, James AF. (1992) Management (terjemahan), Jakarta:Erlangga

Syahatah, Husein (2001), Ushul al-Fikri al-Muhasabi al-Islami (terjemahan), Jakarta: Akbar Media Eka Sarana

Sabiq, Sayyid (1993), Fiqh al-Sunnah (terjemahan jilid 12), Bandung: Al-Ma’arif

Triyuwono, Iwan (2000) Organisasi dan Akuntansi Syari’ah, Yogyakarta: LKiS

Usman, Muhlish (1996), Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: RajaGrafindo Persada

Widodo, Hertanto, et al., (1999), Pedoman Akuntansi Syari’ah, Bandung: Mizan


1 comment: