Custom Search

Thursday, December 20, 2012

MEMAKSIMALKAN PERAN OPINI AKUNTAN DALAM PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK


Download Full Paper "Klik Disini"

(Dipresentasikan dalam Call for Paper dan Seminar Nasional Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, 4 Oktober 2012)


Nur Hidayat
Konsultan Akuntansi Pajak TAXAcc Consulting Bandung


Abstract

There are five opinion types which can be given by accountant to financial statement which has been audited by public accountant, (1) undualified opinion  (wajar tanpa pengecualian), (2) unqualified opinion with explanatory language (pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku), (3) qualified opinion (pendapat wajar dengan pengecualian), (4)  adverse opinion (pendapat tidak wajar), and (5) disclaimer opinion (pendapat tidak memberikan pendapat).
Unqualifield opinion is a result of professional works of an Public Accountant that confessed  its independency, so feasible  when unqualifield opinion has the huge benefits either formaly and materialy.
 Recently Directorate General of Taxes (DJP), accountant opinion mainly unqualifield opinion (WTP) is exploited optimally especially on tax determining and determination, considering to get the unqualifield opinion management accountant has attempted to present the financial statement transparency which has been conducted refers to Financial Accounting Standard (SAK) and there is no unvalid presentation it means that the financial statement has refered to standardized process of presentation.

Keyword: accountant opinion, uqualifield opinion (WTP), tax determining and  determination

 
I. Pendahuluan
Perusahaan yang telah berusaha untuk mengelola kegiatan usahanya secara profesional dan transparan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan (good corporate governance)  membutuhkan opini dari akuntan publik atas laporan keuangannya, untuk membuktikan bahwa perusahaannya telah berjalan sesuai dengan harapan para investor dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) PSA No. 29 ada lima jenis opini yang dapat diberikan oleh akuntan terhadap laporan keuangan yang telah dilakukan audit oleh akuntan publik,  (1) pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (2) pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku (unqualified opinion with explanatory language), (3) pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (4) pendapat tidak wajar (adverse opinion), dan (5) pendapat tidak memberikan pendapat (disclaimer opinion).
Untuk memberikan opini tersebut, laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan harus dilakukan proses audit sesuai dengan standar dan prosedur, yang dilakukan oleh akuntan publik independen. Opini akuntan publik diharapkan dapat membantu untuk memberikan kepercayaan kepada investor dan para pengguna laporan keuangan lainnya (termasuk Direktorat Jenderal Pajak/DJP) bahwa perusahaan telah melaksanakan pembukuan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum (PABU).
Ciri-ciri laporan keuangan yang diberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh akuntan publik adalah telah mematuhi SAK secara konsisten dan akuntan dapat meyakini bahwa tidak terdapat salah saji yang material dalam penyajian laporan keuangan tersebut terhadap semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas suatu entitas (Agoes, 2003).
Opini akuntan publik memiliki sifat normatif mematuhi standar yang telah ditetapkan, dan secara substantif pemberian opini didasari oleh transaksi (business process) yang benar-benar terjadi sehingga tidak diragukan lagi objektivitas dan relevansinya. Opini yang demikian tidak diragukan lagi kualitasnya, karena dilakukan oleh auditor yang senantiasa menjaga kualitas audit. Menjaga kualitas audit sebagaimana dinyatakan oleh Wallace (1980) auditor berusaha menemukan kekeliruan dan bias, serta memberpaiki kemurnian data akuntansi.
Penetapan dan ketetapan pajak diawali dengan adanya laporan Surat Pemberutahuan (SPT) disertai dengan lampiran yang diwajibkan yaitu laporan keuangan, tidak jarang laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT telah diaudit oleh akuntan publik yang berkualitas dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
 
II. Kajian Teoritis
2.1. Auditing dan Opini Akuntan
2.1.1. Auditing
            Terdapat banyak definisi auditing yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain, Boynton dan Kell (2001) mengutip definisi auditing dari The Report of the Committee on Basic Auditing Concepts of the American Accounting Association.

Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions about economic actions and events to ascertain the degree of correspondence between those assertions and established criteria and communicating the result to interested user.
           
            Menurut Konrath (2002) auditing adalah sebagai suatu proses sistematis untuk secara objektif mendapatkan dan mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan-kegiatan dan kejadian-kejadian ekonomi untuk meyakinkan tingkat keterkaitan antara asersi tersebut dan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

2.1.2. Opini Akuntan
            Auditor mengkomunikasikan hasil pekerjaan auditnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Komunikasi tersebut merupakan puncak dari proses atestasi, dan mekanismenya adalah laporan audit. Audit report tersebut digabungkan dengan laporan keuangan dalam laporan tahunan kepada pemegang saham dan menjelaskan ruang lingkup audit dan temuan-temuan audit. Temuan tersebut diekspresikan dalam bentuk pendapat (opinion) mengenai kewajaran laporan keuangan, yang telah disusun oleh manajemen, maksudnya apakah posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas telah disajikan secara wajar. Pihak-pihak berkepentingan khususnya pemegang saham, investor, pemerintah (DJP), dan masyrakat (Agoes, 2003)
            Menurut Standar Profesional Akuntan Publik (PSA 29) ada lima jenis opini akuntan, yaitu:
1.      Pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified opinion),
2.      Pendapatan wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku (Unqualified opinion with explanatory language),
3.      Pendapat wajar dengan pengecualian (Qualified opinion),
4.      Pendapat tidak wajar (Adverse opinion), dan
5.      Pernyataan tidak memberikan pendapat (Disclaimer opinion).
Pendapat wajar tanpa pengecualian menurut Agoes (2003) dapat diberikan jika auditor telah melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar auditing, dan telah mengumpulkan bahan-bahan pembuktian (audit evidence) yang cukup mendukung opininya, serta tidak menemukan adanya kesalahan material atau penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, maka auditor dapat memberikan opininya “wajar tanpa pengecualian/WTP”.

2.2. Laporan Keuangan dalam Perspektif Perpajakan
            Hasil akhir dari proses akuntansi adalah penyajian laporan keuangan,  dari laporan keuangan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi yang digunakan untuk kepentingan internal  maupun kebutuhan eksternal, salah satu kebutuhan eksternal yang sangat penting adalah sebagai dasar dalam perhitungan kewajiban pajak perusahaan.
            Entitas bisnis (badan atau orang pribadi yang memilih menggunakan pembukuan) diwajibkan menyampaikan laporan keuangan dalam setiap tahunnya, laporan tersebut berupa: laporan laba rugi dan neraca untuk dilampirkan dalam SPT tahunan pajak, laporan ini dilengkapi dengan daftar penyusutan aktiva tetap dan [akan lebih baik bila dilengkapi pula dengan rekonsiliasi fiskal]. Lampiran berupa laporan keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT dan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak (WP) yang menyelenggarakan pembukuan. Karena begitu  pentingnya fungsi laporan keuangan, sehingga SPT yang tidak dilampiri oleh laporan keuangan dapat dianggap tidak disampaikan.
            Laporan keuangan selain berkait dengan kewajiban PPh Badan atau PPh Orang Pribadi atas laba usaha yang dilaporakan dalam SPT, ada beberapa kewajiban perpajakan lainnya yang berkait erat dengan laporan keuangan, hal ini yang menjadikan penyajian laporan keuangan sangat penting dan signifikan.

2.2.1. Laporan Keuangan Lampiran SPT
            Laporan keuangan yang lebih tepat dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh WP Badan (1771) atau SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi (1770) yang memilih menggunakan pembukuan, adalah laporan keuangan komersial (akuntansi komersial) dengan alasan sebagai berikut: Pertama, laporan keuangan yang disusun adalah untuk kepentingan umum (general purpose) sehingga memungkinkan untuk digunakan oleh siapa saja yang memerlukan, termasuk untuk kepentingan pajak.
            Kedua, walaupun pada sisi tertentu WP mengetahui kriteria apa saja dalam penyajian laporan keuangan fiskal, tetapi WP kapasitasnya bukan sebagai fiskus, sehingga tidak sewajarnya bila menyajikan laporan keuangan fiskal.
            Ketiga, dengan menyusun laporan keuangan komersial tidak perlu menyusun laporan keuangan fiskal, karena komponen laporan keuangan fiskal telah terdapat dalam laporan keuangan komersial, hanya diperlukan rekonsiliasi (koreksi) fiskal. Bila lampiran SPT Tahunan PPh melampirkan laporan keuangan khusus (laporan keuangan fiskal), perusahaan punya keharusan pula untuk menyusun laporan keuangan komersial, hal ini akan menjadikan kerja yang kurang atau bahkan tidak tepat.
            Dengan demikian, cara yang lebih tepat dalam melampirkan laporan keuangan untuk SPT Tahunan adalah melampirkan laporan keuangan komersial yang dilengkapi dengan penjelasan koreksi fiskal, yang cukup memberi penjelasan mengenai laba-rugi berdasarkan koreksi fiskal sehingga dapat untuk dijadikan dasar dalam penghitungan kewajiban pajak sesuai UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) dan relevan dengan yang dikehendaki oleh pasal 28 ayat [7] UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 (UU KUP).

2.2.2. Keterkaitan Laporan Keuangan dengan Kewajiban Perpajakan
            Laporan keuangan selain memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan pengguna internal, laporan keuangan juga diperlukan bagi pihak-pihak eksternal, keterkaitan laporan keuangan bagi pihak eksternal yang cukup signifikan adalah keterkaitan dengan institusi perpajakan, karena lembaga ini yang dipercaya oleh pemerintah untuk mengumpulkan pendapatan negara dari penerimaan pajak dan seperti telah dimaklumi bahwa pendapatan negara dari penerimaan ini melebihi dari jumlah 70%nya dari seluruh jumlah pendapatan negara, hal ini menunjukkan betapa besar pengaruhnya penerimaan pajak bagi sebuah negara dan ini artinya penerimaan pajak adalah sumber utama pendapatan negara.
            Ada beberapa kewajiban pajak bagi WP yang sangat berkait dengan laporan keuangan, dan hal ini hampir terjadi pada setiap WP. Pertama: PPh Badan dan PPh Orang Pribadi yang memilih menggunakan pembukuan, dasar untuk menghitung penghasilan kena pajak (PKP) dan dasar menghitung kewajiban PPh-nya adalah laba dari kegiatan usaha, untuk mengetahui besarnya laba secara sistematis adalah melalui laporan laba-rugi (income statement) dalam laporan ini akan menyajikan pendapatan usaha, beban-beban usaha (termasuk harga pokok), selisih antara jumlah pendapatan dan beban usaha.
Kedua, kewajiban PPN dan PPn BM, bila komponen dalam pendapatan tersebut terdapat BKP/JKP yang terutang PPN dan atau penyerahan barang mewah yang terutang PPn BM, maka laporan laba rugi juga berkait dengan kewajiban PPN yang besarnya diperhitungkan melalui PPN Keluaran dikurangi dengan PPN Masukan, serta perhitungan PPn BM yang harus disetor.
            Ketiga, kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, yang penghasilannya di atas PTKP, beban gaji yang dibayarkan kepada karyawan adalah merupakan komponen beban yang menjadi pengurang pendapatan dalam laporan laba-rugi yang disajikan oleh perusahaan.           
Keempat, kewajiban memotong Pasal Pasal 4 ayat [2] Final atas sewa tanah dan atau bangunan, yang ditempati/digunakan oleh perusahaan, hal ini berkait dengan beban sewa yang terdapat dalam komponen beban laporan laba-rugi, tidak berbeda dengan PPh 21, PPh Final pun sangat berkait dengan laba yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi.
Kelima, kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa-jasa pihak ketiga yang berkait dengan transaksinya. Bagi perusahaan yang usaha pokoknya memberikan jasa seperti konsultan juga berkait dengan PPh Pasal 23 atas pendapatan jasa yang artinya hal ini berkait dengan pencantuman pendapatan pada laporan laba-rugi.
            Keenam, adanya pengurangan atau penambahan aktiva tetap berupa tanah dan/atau bangunan yang tercantum dalam neraca, juga berkait dengan kewajiban BPHTB yang diwajibkan untuk melunasinya bagi pembeli dan PPh atas penjualan tanah dan atau bangunan dari segi penjual. Sehubungan dengan kepemilikan/ penggunaan/penguasaan atas tanah dan bangunan juga diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
            Ketujuh, kenaikan aktiva tetap yang terdapat dalam neraca melalui mekanisme penilaian kembali (revaluasi) juga merupakan obyek pajak. Pelaksanaan revaluasi aktiva tetap mengacu pada pasal 19 ayat [1] UU PPh. Selisih penilaian kembali antara harga pasar dan nilai buku suatu aktiva, merupakan obyek pajak penghasilan yang bersifat final.
            Kedelapan, pembagian dividen, adanya pembagian dividen didahului oleh pengumuman pembagian dividen kepada pemegang saham. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat [1] UU PPh, terutangnya dividen menimbulkan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23. Dividen yang dibagi berkaitan erat dengan laba ditahan (retained earning) yang disajikan dalam neraca dan berkait pula dengan laba yang tercantum dalam laporan laba-rugi.
            Kesembilan, WP yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan keuangan atau menyampaikan laporan keuangan yang isinya tidak benar, yang dapat berakibat merugikan Negara, diancam pidana penjara maksimal enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari jumlah pajak yang tidak atau kurang disetor (Pasal 39 [1] UU KUP).
            Hal ini menunjukkan betapa laporan keuangan memiliki berbagai keterkaitan (koherensi) yang kuat dengan berbagai kewajiban pajak, baik kewajiban membayar (pajak) atau timbulnya utang pajak, dan dapat pula timbul kewajiban untuk memotong pajak kepada pihak lain sehubungan dengan aktivitas usaha.
                Begitu pentingnya laporan keuangan dalam perpajakan, sampai-sampai SPT yang dilaporkan tanpa dilampiri dengan laporan keuangan dapat dianggap tidak disampaikan. Dan bahkan gara-gara menyampaikan laporan keuangan palsu, WP dapat dikatagorikan melakukan tindak pidana yang diancam dengan sanksi penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari jumlah pajak terutang atau yang tidak/kurang disetor.

2.3. Pemeriksaan Pajak
Berdasarkan ketentuan pasal 29 UU KUP, dinyatakan:

Direktur Jendral Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pemeriksaan pajak, bila dilihat dari pengertian secara definitif adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Bwoga, et. al., 2005)
Sistem self assesment dalam peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia yang mulai diterapkan sejak reformasi sistem perpajakan tahun 1983 sangat berpengaruh bagi WP, satu sisi WP diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang tetapi di sisi lain mengharuskan WP untuk siap menghadapi pengujian kepatuhan atas pajak yang dilaporkan.
            Dalam praktek perpajakan yang sehat seharusnya pemeriksaan tidak lagi dipandang sebagai hal yang menakutkan, hal ini dapat dibangun melalui: Pertama, meningkatkan profesionalisme petugas pemeriksa melalui pendidikan pemeriksaan pajak berkelanjutan dan komprehensif yang tidak hanya memahami tugasnya sebagai pemeriksa tetapi juga memahami siapa yang diperiksa, sejalan dengan yang dinyatakan reformasi ditubuh DJP yang mulai menempatkan dirinya sebagai agen pelayanan kepada WP, sehingga DJP dituntut untuk memahami WP secara utuh, atau diistilahkan “knowing your tax payer”.
            Kedua, meningkatkan penanaman moral dan etika bagi pemeriksa, sehingga pemeriksa dapat menghilangkan image pemeriksaan yang menakutkan karena ulah oknum fiskus yang tidak bermoral, memeras dan mengintimidasi WP, dan yang terpenting lagi adalah hilangkan target pribadi pemeriksa yang ingin memperoleh pendapatan ekstra dari WP.
Sistem self assessment memberikan kepercayaan kepada WP, untuk menghitung pajaknya sendiri, memperhitungkan kredit pajak yang disetor sendiri maupun yang dipotong/dipungut oleh pihak lain, menyetorkan jumlah pajak kurang bayar/kurang setor, melaporkan SPT Masa maupun Tahunan, sistem ini adalah sistem yang paling banyak diterapkan di negara-negara demokrasi tidak terkecuali Indonesia, selain itu sistem ini juga memenuhi rasa keadilan karena Fiskus telah memberikan kepercayaan kepada WP, atau istilahnya ”Fiskus telah positive thinking terhadap WP” (Hidayat, 2011).
Menurut Hidayat (2011) dalam rangka menguji WP dalam melaksanakan sistem self assessment (menguji: Apakah pajak yang dihitung telah benar menghitungnya? Apakah kredit pajak yang disetor sendiri dan yang dipotong/dipungut pihak lain benar-benar ada? Apakah jumlah yang seharusnya disetor oleh WP telah disetor tepat waktu dan jumlah yang tepat? Apakah SPT Masa dan SPT Tahunannya telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas, serta telah dilaporkan tepat waktu?), Fiskus dapat melakukan pemeriksaan. WP harus siap dan mempersiapkan setiap saat untuk diuji dengan pemeriksaan sebelum daluarsa/lewat waktu lima tahun(Pasal 13 ayat (4) UU KUP).
Gambar 2.1
Pemeriksaan Substantif

Menurut Hidayat (2011) secara substantif sejatinya pemeriksaan pajak harus berangkat dari anggapan awal “mempercayai WP”, bila demikian pemeriksaan tidak dijadikan sebagai suatu sarana untuk mencari-cari kesalahan WP. Fiskus harus memulai pemeriksaan dengan anggapan awal yang ”netral” tidak ”negative thinking”, sehingga pemeriksaan betul-betul digunakan oleh Fiskus dalam rangka mencari kebenaran dari transaksi yang dilakukan oleh WP, apabila ditemukan bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa transaksi yang dilakukan oleh WP itu benar dan tidak ada unsur-unsur yang dapat merugikan penerimaan negara, meskipun secara formal masih terdapat kesalahan, WP tidak disudutkan dengan koreksi, apalagi sampai meminta tambahan setoran atau bahkan tidak mengakui setoran/kredit pajak yang benar-benar milik WP (telah dilunasi atau dipotong/dipungut oleh pihak lain – withholding tax).
Untuk membuktikan kebenaran transaksi, Fiskus juga dapat menggunakan bukti-bukti yang digunakan WP sebagai dasar pembukuan/pencatatan akuntansi. Dapat pula menggunakan laporan hasil audit [opini akuntan] yang dimiliki WP bagi yang telah diaudit oleh akuntan publik.

2.4. Penetapan dan Ketatapan Pajak
2.4.1. Penetapan Pajak
Pada prinsipnya, setiap WP wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Artinya, pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak (ajaran materiil) bukan karena terbitnya ketetapan pajak (ajaran formiil).
Berdasarkan UU KUP, DJP tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua SPT yang disampaikan WP. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada WP tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenar-an dalam pengsian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh WP.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam SPT yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, DJP menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
DJP dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan atau STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum WP diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi WP (Pasal 14 PP 80 Tahun 2007).
DJP juga dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan atau STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan NPWP atau pencabutan Pengukuhan PKP, apabila setelah penghapusan NPWP atau Pencabutan Pengukuahan PKP, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi WP.

Gambar 2.2
Surat Tagihan Pajak (STP)

2.4.2. Ketetapan Pajak
Menurut Peraturan Menteri Keuangan PMK-23/PMK.03/28 Jo PER-5/PJ/2009, pengertian Surat Ketetapan Pajak (Pasal 1 angka 15 UU KUP) adalah Surat ketetapan yang meliputi SKPKB atau SKPKBT atau SKPN atau SKPLB. Berdasarkan keputusan DJP kewenangan mengeluarkan surat ketetapan pajak, dilimpahkan kepada KPP. Ketentuan pajak ini dapat diterbitkan berdasarkan pemeriksaan atau penelitian.
Jenis Surat Ketetapan Pajak, sesuai dengan Pasal 1 angka 14 UU KUP, adalah:
1.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2.      Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
3.      Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
4.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Gambar 2.3
Surat Ketapan Pajak (SKP)

Ketentuan Umum Penerbitan Surat Ketetapan Pajak, adalah sebagai berikut:
1.      Surat ketetapan pajak diterbitkan untuk suatu Masa Pajak, Bagian Tahun pajak, atau Tahun Pajak.
2.      Surat ketetapan pajak untuk suatu Masa Pajak siterbitkan sesuai dengan Masa  yang tercakup dalam SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh) atau SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3.      Dalam hal surat ketetapan pajak diterbitkan untuk Pajak Penghasilan Pasal 21, surat ketetapan pajak tersebut diterbitkan sesuai dengan Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yangmencakup seluruh SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk bagian untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.
4.      Bagi WP yang sudah dihapuskan NPWP-nya, penerbitan surat ketetapan pajak dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan NPWP dengan menggunakan nomor yang sama dengan nomor yang telah dihapuskan. Penerbitan surat ketetapan pajak ini dilakukan apabila setelah Penghapusan  NPWP atau pencabutan Pengukuhan PKP diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajkan yang belum dipenuhi WP.
5.      Surat ketetapan pajak harus diterbitkan berdasarkan nota perhitungan yang dibuat berdasarkan laporan atas hasil Penelitian, Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan.
6.      Penyampaian Surat ketetapan pajak kepada WP, dapat dilakukan:
a.       secara langsung;
b.      melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c.       melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Gambar 2.4
Sanksi dalam SKPKB

III. Pembahasan
3.1. Memanfaatkan Opini Akuntan dalam Pemeriksaan
Unsur-unsur yang diperiksa oleh fiskus adalah SPT yang disampaikan berikut lampiran-lampirannya berupa laporan keuangan dan data-data lainnya yang diperlukan. Laporan keuangan yang digunakan oleh pemeriksa pajak sebagai dasar dalam menetapkan besaran penghasilan kena pajak sehingga dapat dihitung jumlah pajak terutang (Pasal 28 UU KUP).  Bagi perusahaan tertentu (mis. PT Tbk) laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik (AP) atau Kantor Akuntan Publik (KAP) dan tidak jarang telah mendapatkan opini WTP.
SPT yang disampaikan oleh WP (PT Tbk) yang dilampiri laporan keuangan yang telah mendapatkan opini WTP pun masih dilakukan pemeriksaan pajak dan bahkan dapat diterbitkan/dikoreksi dengan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) oleh DJP. Oleh sebab itu, BAPEPAM dan pelaku usaha (WP) yang terdaftar di bursa menuntut perlakuan perpajakan yang memiliki keberpihakan bagi WP PT Tbk, terlebih bagi yang telah memperoleh opini WTP.
Keberpihakan dimaksud menurut Hidayat (2009a) adalah perlakuan yang berbeda, misalnya  tarif lebih rendah dari tarif yang berlaku bagi WP (non PT Tbk), dan tuntutan lainnya yaitu memfungsikan opini akuntan (WP PT Tbk yang laporan keuangannya telah diuadit oleh akuntan publik dan mendapat opini WTP agar tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali WP terindikasi melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan masalah keuangan, akuntansi, atau masalah perpajakan).

3.2. Memaksimalkan Peran Opini Akuntan
Laporan keuangan WP yang telah diaudit oleh akuntan publik (AP atau KAP) akan mendapatkan opini akuntan, laporan keuangan yang telah mendapatkan opini tersebutlah yang kemudian dilampirkan dalam SPT. SPT yang disampaikan WP ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) selanjutnya dilakukan penelitian mengenai kelengkapan dan kebenaran formal, apabila hasil penelitian menemukan adanya kekurangan pembayaran pajak akan ditindaklanjuti dengan penerbitan STP.
Lain halnya, apabila hasil penelitian menemukan adanya indikasi kesalahan material selanjutnya diteruskan kepada Account Representative (AR) untuk memanggil WP dengan melakukan tindakan konseling agar WP melakukan pembetulan SPT atas kemauan sendiri tentu saja dengan arahan dan persetujuan AR, namun apabila pembetulan sendiri tidak dimungkinkan atau WP menolak melakukan pembetulan sendiri, akan ditindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan, sebagai ketetapan (untuk menagih) hasil pemeriksaan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak [SKPKB, SKPKBT, SKPN, atau SKPLB].
Gambar 3.1
Audit Laporan Keuangan, Penetapan, dan Ketetapan

Tindaklanjut dari memanfaatkan opini akuntan dalam pemeriksaan adalah memaksimalkan peran opini akuntan dalam penetapan STP, penetapan STP yang didasarkan dari opini akuntan akan lebih obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan dengan lebih transparan, karena opini akuntan adalah merupakan penilaian atas pembukuan terhadap transaksi yang dilakukan oleh WP, oleh pihak yang independen dan melalui proses yang berkualitas (Wallace, 1980).
Selain itu, memaksimalkan peran opini akuntan dapat pula dilakukan saat penerbitan surat ketetapan pajak [SKPKB,  SKPKBT, SKPN, dan SKPLB], karena ketetapan tersebut terbit setelah dilakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang disampaikan oleh WP sebagai lampiran SPT. Pemeriksa telah dengan seksama mencermati laporan keuangan saat melakukan tugas profesional sebagai pemeriksa pajak, terlebih pemeriksa telah dapat melihat langsung bukti-bukti yang telah dikuatkan oleh adanya opini dari akuntan publik profesional yang telah melakukan proses audit dengan cara-cara yang profesional pula sesuai dengan prosedur dan standar pemeriksaan yang berlaku.
Tidak berlebihan kiranya, dalam ketetapan pajak fiskus dapat menggunakan opini akuntan sebagai dasarnya. Dengan demikian, usaha keras WP dalam melaksanakan akuntansi dan kerja keras AP/KAP dalam melakukan audit sampai dengan mendapatkan keyakinan yang memadai untuk menerbitkan opini, akan mendapatkan manfaat yang seimbang.
Bila kenyataannya terjadi sebaliknya, menurut Hidayat (2009c) opini akuntan seolah-olah tidak berarti apa-apa bagi DJP. Hal ini membuat banyak perusahaan enggan mencatatkan sahamnya di bursa untuk menjadi PT Tbk dan perusahaan juga enggan dan merasa tidak perlu menggunakan jasa audit atas laporan keuangan, karena laporan keuangan yang telah diaudit tidak mempunyai daya guna yang lebih luas termasuk untuk kepentingan pelaporan pajak, padahal  biaya yang dikeluarkan untuk jasa audit relatif mahal, sehingga mengauditkan laporan keuangan dianggap akan memperoleh manfaat yang tidak seimbang dengan biaya yang telah dikeluarkan (Hidayat, 2009b).
Apabila kondisi di atas tidak segera dibenahi, dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi dunia akuntansi dan bahkan imbasnya dapat merambah ke DJP,  hal-hal yang dapat terjadi, misalnya: (1) Perusahaan enggan mendaftarkan/listing di bursa efek, (hal ini, bertentangan dengan semangat memajukan Bursa Efek Indonesia), (2) Perusahaan enggan untuk mengauditkan laporan keuangannya, sehingga akan sulit mencari laporan keuangan yang objektif, informatif, dan transparan (3) Perusahaan besar (PT Tbk) akan memecah perusahaannya (delisting) menjadi perusahaan kecil, dengan demikian akan meningkatkan jumlah WP tetapi tidak meningkatkan penerimaan pajak, bahkan dapat memperkecil jumlah penerimaan pajak.
Dengan demikian, sudah saatnya DJP memanfaatkan opini akuntan (terutama opini WTP) sebagai salah-satu pertimbangan dalam menetapkan WP yang akan dilakukan pemeriksaan pajak. DJP dapat pula memanfaatkan opini akuntan sebagai dasar dalam menetapkan besaran koreksi dalam STP, besaran koreksi dalam SKPKB, dan besaran koreksi dalam SKPKBT.




IV. Penutup
Opini akuntan adalah hasil kerja auditor [AP/KAP] yang dilakukan sesuai dengan prosedur dan standar audit yang telah dipercaya oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Pengorbanan waktu dan biaya dalam proses audit tersebut tidaklah murah. Sehingga tidak semua perusahaan (WP) memiliki anggaran audit tersebut. WP yang telah mengauditkan laporan keuangannya mengharapkan adanya manfaat yang seimbang dari pengorbanannya tersebut.
Salah satu cara  untuk memenuhi harapan WP (mengatasi masalah ketidak-seimbangan) antara manfaat dengan biaya yang dikeluarkan, adalah dengan meningkatkan manfaat opini akuntan secara optimal, terutama yang berkait dengan masalah perpajakan. Opini akuntan dijadikan pertimbangan dalam penetapan WP yang akan diperiksa dan bahkan dapat dijadikan dasar dalam penerbitan penetapan pajak [STP] dan  ketetapan pajak [SKPKB dan SKPKBT].



Daftar Pustaka

Agoes, Sukrisno. 2003. Pengaruh Penerapan Standar Auditing, Penerapan Standar Pengendalian Mutu dan Kualitas Jasa Audit terhadap Tingkat Kepercayaan Pengguna Laporan Akuntan Publik, Disertasi PPs UNPAD (tidak dipublikasikan)
Agoes, Sukrino dan Estralita Trisnawati. 2009. Akuntansi Perpajakan, Edisi 2, Jakarta: Salemba Empat
Boynton William C, Kell, Water G.2001. Modern Auditing, Sixth Edition, New York: John Wiley & Sons, Inc.
Bwoga, Hananto, et. al. 2005. Pemeriksaan Pajak di Indonesia, Jakarta: Grasindo
Gunadi. 2002. Kebijakan Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Berita Pajak, No. 1464/ Tahun XXXIV/1 April 2002, hal. 43-46
Hidayat, Nur. 2005a. Menolak Hasil Pemeriksaan Pajak, Jurnal Perpajakan Indonesia, Vol. 5 No. 1, Agustus 2005
Hidayat, Nur. 2005b. Upaya Mengoptimalkan Penerimaan Pajak, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Terapan, Vol. 1 No. 2, September 2005
Hidayat, Nur. 2009a. Berdayakan Opini Akuntan. Harian Kontan, edisi 19 Januari 2009 hal. 23
Hidayat, Nur. 2009b. Mengoptimalkan Opini Akuntan dalam Pemeriksaan Pajak. Jurnal Ekonomi Manajemen dan Akuntansi Portofolio, Vol. 6, No. 1, Mei 2009 hal. 31-40
Hidayat, Nur. 2009c. Opini Akuntan (WTP) sebagai Pertimbangan dalam Menetapkan SPT Diperiksa. Prociding Simposium Nasional Perpajakan 2. Bangkalan: SNP 2 Universitas Trunojoyo Madura
Hidayat, Nur. 2011. Substansi Akuntansi: Prioritas dalam Pemeriksaan Pajak. Prociding Simposium Nasional Perpajakan 3. Bangkalan: SNP 3 Universitas Trunojoyo Madura
IAI. 2001. Standar Profesional Akuntan Publik, Jakarta: Salemba Empat
IAI. 2012. Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia
Konrath, Laweyy F. 2001. Auditing Concept and Applications, A Risk-Analysis Approach, 5th. Edition, West Publishing Company
Peraturan Menteri Keuangan PMK-23/PMK.03/28 Jo PER-5/PJ/2009
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacaya Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008
Wallace, W.A. 1980. The Economic Role of the Audit in Free and Regulated Markets. Touche Ross & Co. Aid to Education Program. Dalam Watkins, Ann L, Hillison, William, Morecroft, Susan E. 2004. Audit Quality: A Synthesis of Theory and Empirical Evidence. Journal of Accounting Literature, Vol. 23 hal 153-193



No comments:

Post a Comment