Download Full Paper "Klik Disini"
(Dipresentasikan dalam Call for Paper dan Seminar Nasional Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, 4 Oktober 2012)
(Dipresentasikan dalam Call for Paper dan Seminar Nasional Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, 4 Oktober 2012)
Nur Hidayat
Konsultan Akuntansi Pajak TAXAcc Consulting Bandung
Abstract
There are five opinion types which can be
given by accountant to financial statement which has been audited by public
accountant, (1) undualified opinion
(wajar tanpa pengecualian), (2) unqualified opinion with explanatory
language (pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang
ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku), (3) qualified opinion (pendapat
wajar dengan pengecualian), (4) adverse
opinion (pendapat tidak wajar), and (5) disclaimer opinion (pendapat tidak memberikan
pendapat).
Unqualifield opinion is a result of
professional works of an Public Accountant that confessed its independency, so feasible when unqualifield opinion has the huge
benefits either formaly and materialy.
Recently Directorate General of Taxes (DJP), accountant opinion mainly
unqualifield opinion (WTP) is exploited optimally especially on tax determining and
determination, considering to get the unqualifield
opinion management accountant has attempted to present the financial statement
transparency which has been conducted refers to Financial Accounting Standard
(SAK) and there is no unvalid presentation it means that the financial
statement has refered to standardized process of presentation.
Keyword: accountant opinion,
uqualifield opinion (WTP), tax determining and determination
I. Pendahuluan
Perusahaan
yang telah berusaha untuk mengelola kegiatan usahanya secara profesional dan
transparan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan (good corporate governance) membutuhkan opini dari akuntan publik atas
laporan keuangannya, untuk membuktikan bahwa perusahaannya telah berjalan
sesuai dengan harapan para investor dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Menurut
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) PSA No. 29 ada lima jenis opini yang dapat
diberikan oleh akuntan terhadap laporan keuangan yang telah dilakukan audit
oleh akuntan publik, (1) pendapat wajar
tanpa pengecualian (unqualified opinion),
(2) pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan
dalam laporan audit bentuk baku (unqualified
opinion with explanatory language), (3) pendapat wajar dengan pengecualian
(qualified opinion), (4) pendapat tidak
wajar (adverse opinion), dan (5)
pendapat tidak memberikan pendapat (disclaimer
opinion).
Untuk
memberikan opini tersebut, laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan harus
dilakukan proses audit sesuai dengan standar dan prosedur, yang dilakukan oleh
akuntan publik independen. Opini akuntan publik diharapkan dapat membantu untuk
memberikan kepercayaan kepada investor dan para pengguna laporan keuangan
lainnya (termasuk Direktorat Jenderal Pajak/DJP) bahwa perusahaan telah
melaksanakan pembukuan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berterima
umum (PABU).
Ciri-ciri
laporan keuangan yang diberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh
akuntan publik adalah telah mematuhi SAK secara konsisten dan akuntan dapat
meyakini bahwa tidak terdapat salah saji yang material dalam penyajian laporan
keuangan tersebut terhadap semua hal yang material, posisi keuangan, hasil
usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas suatu entitas (Agoes, 2003).
Opini
akuntan publik memiliki sifat normatif mematuhi standar yang telah ditetapkan,
dan secara substantif pemberian opini didasari oleh transaksi (business process) yang benar-benar
terjadi sehingga tidak diragukan lagi objektivitas dan relevansinya. Opini yang
demikian tidak diragukan lagi kualitasnya, karena dilakukan oleh auditor yang
senantiasa menjaga kualitas audit. Menjaga kualitas audit sebagaimana dinyatakan
oleh Wallace (1980) auditor berusaha menemukan kekeliruan dan bias, serta
memberpaiki kemurnian data akuntansi.
Penetapan
dan ketetapan pajak diawali dengan adanya laporan Surat Pemberutahuan (SPT)
disertai dengan lampiran yang diwajibkan yaitu laporan keuangan, tidak jarang
laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT telah diaudit oleh akuntan publik yang
berkualitas dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
II. Kajian
Teoritis
2.1. Auditing
dan Opini Akuntan
2.1.1.
Auditing
Terdapat banyak definisi auditing
yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain, Boynton dan Kell (2001)
mengutip definisi auditing dari The
Report of the Committee on Basic Auditing Concepts of the American Accounting
Association.
Auditing is a
systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding
assertions about economic actions and events to ascertain the degree of
correspondence between those assertions and established criteria and
communicating the result to interested user.
Menurut Konrath (2002) auditing
adalah sebagai suatu proses sistematis untuk secara objektif mendapatkan dan
mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan-kegiatan dan
kejadian-kejadian ekonomi untuk meyakinkan tingkat keterkaitan antara asersi
tersebut dan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
2.1.2. Opini Akuntan
Auditor mengkomunikasikan hasil
pekerjaan auditnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Komunikasi tersebut
merupakan puncak dari proses atestasi, dan mekanismenya adalah laporan audit. Audit report tersebut digabungkan dengan
laporan keuangan dalam laporan tahunan kepada pemegang saham dan menjelaskan
ruang lingkup audit dan temuan-temuan audit. Temuan tersebut diekspresikan
dalam bentuk pendapat (opinion)
mengenai kewajaran laporan keuangan, yang telah disusun oleh manajemen,
maksudnya apakah posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas
telah disajikan secara wajar. Pihak-pihak berkepentingan khususnya pemegang
saham, investor, pemerintah (DJP), dan masyrakat (Agoes, 2003)
Menurut Standar Profesional Akuntan
Publik (PSA 29) ada lima jenis opini akuntan, yaitu:
1.
Pendapat wajar
tanpa pengecualian (Unqualified opinion),
2.
Pendapatan wajar tanpa
pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit
bentuk baku (Unqualified opinion with
explanatory language),
3.
Pendapat wajar
dengan pengecualian (Qualified opinion),
4.
Pendapat tidak
wajar (Adverse opinion), dan
5.
Pernyataan tidak
memberikan pendapat (Disclaimer opinion).
Pendapat wajar tanpa pengecualian menurut Agoes (2003)
dapat diberikan jika auditor telah melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan
standar auditing, dan telah mengumpulkan bahan-bahan pembuktian (audit evidence) yang cukup mendukung opininya,
serta tidak menemukan adanya kesalahan material atau penyimpangan dari prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, maka auditor dapat memberikan
opininya “wajar tanpa pengecualian/WTP”.
2.2. Laporan
Keuangan dalam Perspektif Perpajakan
Hasil akhir dari proses akuntansi adalah penyajian
laporan keuangan, dari laporan keuangan
tersebut diharapkan dapat memberikan informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan
informasi yang digunakan untuk kepentingan internal maupun kebutuhan eksternal, salah satu
kebutuhan eksternal yang sangat penting adalah sebagai dasar dalam perhitungan
kewajiban pajak perusahaan.
Entitas bisnis (badan atau orang
pribadi yang memilih menggunakan pembukuan) diwajibkan menyampaikan laporan
keuangan dalam setiap tahunnya, laporan tersebut berupa: laporan laba rugi dan
neraca untuk dilampirkan dalam SPT tahunan pajak, laporan ini dilengkapi dengan
daftar penyusutan aktiva tetap dan [akan lebih baik bila dilengkapi pula dengan
rekonsiliasi fiskal]. Lampiran berupa laporan keuangan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari SPT dan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi
oleh Wajib Pajak (WP) yang menyelenggarakan pembukuan. Karena begitu pentingnya fungsi laporan keuangan, sehingga
SPT yang tidak dilampiri oleh laporan keuangan dapat dianggap tidak
disampaikan.
Laporan keuangan selain berkait
dengan kewajiban PPh Badan atau PPh Orang Pribadi atas laba usaha yang
dilaporakan dalam SPT, ada beberapa kewajiban perpajakan lainnya yang berkait
erat dengan laporan keuangan, hal ini yang menjadikan penyajian laporan
keuangan sangat penting dan signifikan.
2.2.1. Laporan Keuangan Lampiran SPT
Laporan keuangan yang lebih tepat
dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh WP Badan (1771) atau SPT Tahunan PPh WP Orang
Pribadi (1770) yang memilih menggunakan pembukuan, adalah laporan keuangan
komersial (akuntansi komersial) dengan alasan sebagai berikut: Pertama,
laporan keuangan yang disusun adalah untuk kepentingan umum (general purpose) sehingga memungkinkan
untuk digunakan oleh siapa saja yang memerlukan, termasuk untuk kepentingan
pajak.
Kedua, walaupun pada sisi tertentu
WP mengetahui kriteria apa saja dalam penyajian laporan keuangan fiskal, tetapi
WP kapasitasnya bukan sebagai fiskus, sehingga tidak sewajarnya bila menyajikan
laporan keuangan fiskal.
Ketiga, dengan menyusun laporan
keuangan komersial tidak perlu menyusun laporan keuangan fiskal, karena
komponen laporan keuangan fiskal telah terdapat dalam laporan keuangan
komersial, hanya diperlukan rekonsiliasi (koreksi) fiskal. Bila lampiran SPT
Tahunan PPh melampirkan laporan keuangan khusus (laporan keuangan fiskal),
perusahaan punya keharusan pula untuk menyusun laporan keuangan komersial, hal
ini akan menjadikan kerja yang kurang atau bahkan tidak tepat.
Dengan demikian, cara yang lebih
tepat dalam melampirkan laporan keuangan untuk SPT Tahunan adalah melampirkan
laporan keuangan komersial yang dilengkapi dengan penjelasan koreksi fiskal,
yang cukup memberi penjelasan mengenai laba-rugi berdasarkan koreksi fiskal
sehingga dapat untuk dijadikan dasar dalam penghitungan kewajiban pajak sesuai
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir
dengan UU No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) dan relevan dengan yang dikehendaki oleh
pasal 28 ayat [7] UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 (UU KUP).
2.2.2. Keterkaitan Laporan Keuangan
dengan Kewajiban Perpajakan
Laporan keuangan selain memiliki
tujuan untuk memenuhi kebutuhan pengguna internal, laporan keuangan juga
diperlukan bagi pihak-pihak eksternal, keterkaitan laporan keuangan bagi pihak
eksternal yang cukup signifikan adalah keterkaitan dengan institusi perpajakan,
karena lembaga ini yang dipercaya oleh pemerintah untuk mengumpulkan pendapatan
negara dari penerimaan pajak dan seperti telah dimaklumi bahwa pendapatan
negara dari penerimaan ini melebihi dari jumlah 70%nya dari seluruh jumlah
pendapatan negara, hal ini menunjukkan betapa besar pengaruhnya penerimaan
pajak bagi sebuah negara dan ini artinya penerimaan pajak adalah sumber utama
pendapatan negara.
Ada beberapa kewajiban pajak bagi WP yang
sangat berkait dengan laporan keuangan, dan hal ini hampir terjadi pada setiap
WP. Pertama: PPh Badan dan PPh Orang Pribadi yang
memilih menggunakan pembukuan, dasar untuk menghitung penghasilan kena pajak
(PKP) dan dasar menghitung kewajiban PPh-nya adalah laba dari kegiatan usaha,
untuk mengetahui besarnya laba secara sistematis adalah melalui laporan
laba-rugi (income statement) dalam laporan
ini akan menyajikan pendapatan usaha, beban-beban usaha (termasuk harga pokok),
selisih antara jumlah pendapatan dan beban usaha.
Kedua,
kewajiban PPN dan PPn BM, bila komponen dalam pendapatan tersebut terdapat
BKP/JKP yang terutang PPN dan atau penyerahan barang mewah yang terutang PPn
BM, maka laporan laba rugi juga berkait dengan kewajiban PPN yang besarnya
diperhitungkan melalui PPN Keluaran dikurangi dengan PPN Masukan, serta
perhitungan PPn BM yang harus disetor.
Ketiga, kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, yang
penghasilannya di atas PTKP, beban gaji yang dibayarkan kepada karyawan adalah
merupakan komponen beban yang menjadi pengurang pendapatan dalam laporan
laba-rugi yang disajikan oleh perusahaan.
Keempat,
kewajiban memotong Pasal Pasal 4 ayat [2] Final atas sewa tanah dan atau
bangunan, yang ditempati/digunakan oleh perusahaan, hal ini berkait dengan
beban sewa yang terdapat dalam komponen beban laporan laba-rugi, tidak berbeda
dengan PPh 21, PPh Final pun sangat berkait dengan laba yang dicantumkan dalam
laporan laba-rugi.
Kelima, kewajiban
pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa-jasa pihak ketiga yang berkait dengan
transaksinya. Bagi perusahaan yang usaha pokoknya memberikan jasa seperti
konsultan juga berkait dengan PPh Pasal 23 atas pendapatan jasa yang artinya
hal ini berkait dengan pencantuman pendapatan pada laporan laba-rugi.
Keenam, adanya pengurangan atau penambahan aktiva tetap berupa tanah
dan/atau bangunan yang tercantum dalam neraca, juga berkait dengan kewajiban
BPHTB yang diwajibkan untuk melunasinya bagi pembeli dan PPh atas penjualan
tanah dan atau bangunan dari segi penjual. Sehubungan dengan kepemilikan/ penggunaan/penguasaan
atas tanah dan bangunan juga diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Ketujuh, kenaikan aktiva tetap yang terdapat dalam neraca melalui
mekanisme penilaian kembali (revaluasi) juga merupakan obyek pajak. Pelaksanaan
revaluasi aktiva tetap mengacu pada pasal 19 ayat [1] UU PPh. Selisih penilaian
kembali antara harga pasar dan nilai buku suatu aktiva, merupakan obyek pajak
penghasilan yang bersifat final.
Kedelapan, pembagian
dividen, adanya pembagian dividen didahului oleh pengumuman pembagian dividen
kepada pemegang saham. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat [1] UU PPh,
terutangnya dividen menimbulkan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23. Dividen yang
dibagi berkaitan erat dengan laba ditahan (retained earning) yang
disajikan dalam neraca dan berkait pula dengan laba yang tercantum dalam
laporan laba-rugi.
Kesembilan, WP yang dengan sengaja
tidak menyampaikan laporan keuangan atau menyampaikan laporan keuangan yang
isinya tidak benar, yang dapat berakibat merugikan Negara, diancam pidana
penjara maksimal enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari jumlah
pajak yang tidak atau kurang disetor (Pasal 39 [1] UU KUP).
Hal
ini menunjukkan betapa laporan keuangan memiliki berbagai keterkaitan
(koherensi) yang kuat dengan berbagai kewajiban pajak, baik kewajiban membayar
(pajak) atau timbulnya utang pajak, dan dapat pula timbul kewajiban untuk
memotong pajak kepada pihak lain sehubungan dengan aktivitas usaha.
Begitu pentingnya laporan keuangan dalam perpajakan,
sampai-sampai SPT yang dilaporkan tanpa dilampiri dengan laporan keuangan dapat
dianggap tidak disampaikan. Dan bahkan gara-gara menyampaikan laporan keuangan
palsu, WP dapat dikatagorikan melakukan tindak pidana yang diancam dengan
sanksi penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari
jumlah pajak terutang atau yang tidak/kurang disetor.
2.3. Pemeriksaan
Pajak
Berdasarkan
ketentuan pasal 29 UU KUP, dinyatakan:
Direktur
Jendral Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan
pajak, bila dilihat dari pengertian secara definitif adalah serangkaian
kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan keterangan lainnya
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Bwoga, et. al., 2005)
Sistem self
assesment dalam peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia yang mulai
diterapkan sejak reformasi sistem perpajakan tahun 1983 sangat berpengaruh bagi
WP, satu sisi WP diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang tetapi di sisi lain mengharuskan
WP untuk siap menghadapi pengujian kepatuhan atas pajak yang dilaporkan.
Dalam praktek perpajakan yang sehat
seharusnya pemeriksaan tidak lagi dipandang sebagai hal yang menakutkan, hal
ini dapat dibangun melalui: Pertama, meningkatkan profesionalisme petugas pemeriksa melalui pendidikan
pemeriksaan pajak berkelanjutan dan komprehensif yang tidak hanya memahami
tugasnya sebagai pemeriksa tetapi juga memahami siapa yang diperiksa, sejalan
dengan yang dinyatakan reformasi ditubuh DJP yang mulai menempatkan dirinya
sebagai agen pelayanan kepada WP, sehingga DJP dituntut untuk memahami WP
secara utuh, atau diistilahkan “knowing
your tax payer”.
Kedua, meningkatkan penanaman moral
dan etika bagi pemeriksa, sehingga pemeriksa dapat menghilangkan image pemeriksaan yang menakutkan karena
ulah oknum fiskus yang tidak bermoral, memeras dan mengintimidasi WP, dan yang
terpenting lagi adalah hilangkan target pribadi pemeriksa yang ingin memperoleh
pendapatan ekstra dari WP.
Sistem self
assessment memberikan kepercayaan kepada WP, untuk menghitung pajaknya
sendiri, memperhitungkan kredit pajak yang disetor sendiri maupun yang
dipotong/dipungut oleh pihak lain, menyetorkan jumlah pajak kurang bayar/kurang
setor, melaporkan SPT Masa maupun Tahunan, sistem ini adalah sistem yang paling
banyak diterapkan di negara-negara demokrasi tidak terkecuali Indonesia, selain
itu sistem ini juga memenuhi rasa keadilan karena Fiskus telah memberikan
kepercayaan kepada WP, atau istilahnya ”Fiskus telah positive thinking terhadap WP” (Hidayat, 2011).
Menurut Hidayat (2011) dalam rangka menguji WP dalam
melaksanakan sistem self assessment (menguji:
Apakah pajak yang dihitung telah benar menghitungnya? Apakah kredit pajak yang
disetor sendiri dan yang dipotong/dipungut pihak lain benar-benar ada? Apakah
jumlah yang seharusnya disetor oleh WP telah disetor tepat waktu dan jumlah
yang tepat? Apakah SPT Masa dan SPT Tahunannya telah diisi dengan benar,
lengkap, dan jelas, serta telah dilaporkan tepat waktu?), Fiskus dapat melakukan pemeriksaan. WP harus siap dan
mempersiapkan setiap saat untuk diuji dengan pemeriksaan sebelum daluarsa/lewat
waktu lima tahun(Pasal 13 ayat (4) UU KUP).
Gambar 2.1
Pemeriksaan Substantif
Menurut Hidayat (2011) secara substantif sejatinya
pemeriksaan pajak harus berangkat dari anggapan awal “mempercayai WP”, bila
demikian pemeriksaan tidak dijadikan sebagai suatu sarana untuk mencari-cari
kesalahan WP. Fiskus harus memulai pemeriksaan dengan anggapan awal yang
”netral” tidak ”negative thinking”,
sehingga pemeriksaan betul-betul digunakan oleh Fiskus dalam rangka mencari
kebenaran dari transaksi yang dilakukan oleh WP, apabila ditemukan bukti-bukti
yang kuat dan meyakinkan bahwa transaksi yang dilakukan oleh WP itu benar dan
tidak ada unsur-unsur yang dapat merugikan penerimaan negara, meskipun secara
formal masih terdapat kesalahan, WP tidak disudutkan dengan koreksi, apalagi
sampai meminta tambahan setoran atau bahkan tidak mengakui setoran/kredit pajak
yang benar-benar milik WP (telah dilunasi atau dipotong/dipungut oleh pihak
lain – withholding tax).
Untuk membuktikan kebenaran transaksi, Fiskus juga dapat menggunakan bukti-bukti yang
digunakan WP sebagai dasar pembukuan/pencatatan akuntansi. Dapat pula
menggunakan laporan hasil audit [opini akuntan] yang dimiliki WP bagi yang
telah diaudit oleh akuntan publik.
2.4. Penetapan dan Ketatapan Pajak
2.4.1. Penetapan Pajak
Pada prinsipnya, setiap WP wajib membayar pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Artinya, pajak
terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak (ajaran
materiil) bukan karena terbitnya ketetapan pajak (ajaran formiil).
Berdasarkan UU KUP, DJP tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas
semua SPT yang disampaikan WP. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya
terbatas pada WP tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenar-an dalam pengsian
SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh WP.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam SPT yang bersangkutan tidak
benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, DJP
menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
DJP dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan atau
STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum WP diberikan
atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP), apabila diperoleh data dan/atau informasi yang
menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi WP (Pasal 14 PP 80
Tahun 2007).
DJP juga dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan
atau STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum
dan/atau setelah penghapusan NPWP atau pencabutan Pengukuhan PKP, apabila
setelah penghapusan NPWP atau Pencabutan Pengukuahan PKP, diperoleh data
dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum
dipenuhi WP.
Gambar 2.2
Surat Tagihan Pajak (STP)
2.4.2. Ketetapan Pajak
Menurut Peraturan Menteri
Keuangan PMK-23/PMK.03/28 Jo
PER-5/PJ/2009, pengertian Surat Ketetapan Pajak
(Pasal 1 angka 15 UU KUP) adalah Surat ketetapan yang
meliputi SKPKB atau SKPKBT atau SKPN atau SKPLB. Berdasarkan keputusan DJP
kewenangan mengeluarkan surat ketetapan pajak, dilimpahkan kepada KPP.
Ketentuan pajak ini dapat diterbitkan berdasarkan pemeriksaan atau penelitian.
Jenis Surat Ketetapan Pajak, sesuai dengan Pasal 1
angka 14 UU KUP, adalah:
1. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
3. Surat
Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
4. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Gambar 2.3
Surat Ketapan Pajak (SKP)
Ketentuan Umum Penerbitan Surat Ketetapan Pajak, adalah sebagai berikut:
1. Surat
ketetapan pajak diterbitkan untuk suatu Masa Pajak, Bagian Tahun pajak, atau
Tahun Pajak.
2. Surat
ketetapan pajak untuk suatu Masa Pajak siterbitkan sesuai dengan Masa yang tercakup dalam SPT
Masa Pajak Penghasilan (PPh) atau SPT Masa
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3. Dalam
hal surat ketetapan
pajak diterbitkan untuk Pajak Penghasilan Pasal 21, surat ketetapan pajak
tersebut diterbitkan sesuai dengan Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yangmencakup
seluruh SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk
bagian untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.
4. Bagi WP
yang sudah dihapuskan NPWP-nya, penerbitan surat ketetapan pajak
dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan NPWP dengan menggunakan
nomor yang sama dengan nomor yang telah dihapuskan. Penerbitan surat ketetapan
pajak ini dilakukan apabila setelah Penghapusan
NPWP atau pencabutan Pengukuhan PKP diperoleh
data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajkan yang belum
dipenuhi WP.
5. Surat
ketetapan pajak harus diterbitkan berdasarkan nota perhitungan yang dibuat
berdasarkan laporan atas hasil Penelitian, Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau
Pemeriksaan Bukti Permulaan.
6. Penyampaian
Surat ketetapan pajak kepada WP, dapat
dilakukan:
a.
secara langsung;
b.
melalui pos dengan bukti pengiriman
surat; atau
c.
melalui perusahaan jasa ekspedisi atau
jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Gambar 2.4
Sanksi dalam SKPKB
III. Pembahasan
3.1. Memanfaatkan
Opini Akuntan dalam Pemeriksaan
Unsur-unsur yang diperiksa oleh fiskus adalah SPT yang
disampaikan berikut lampiran-lampirannya berupa laporan keuangan dan data-data
lainnya yang diperlukan. Laporan keuangan yang digunakan oleh pemeriksa pajak
sebagai dasar dalam menetapkan besaran penghasilan kena pajak sehingga dapat
dihitung jumlah pajak terutang (Pasal 28 UU KUP). Bagi perusahaan tertentu (mis. PT Tbk) laporan
keuangan yang dilampirkan dalam SPT adalah laporan keuangan yang telah diaudit
oleh Akuntan Publik (AP) atau Kantor Akuntan Publik (KAP) dan tidak jarang
telah mendapatkan opini WTP.
SPT yang disampaikan oleh WP (PT Tbk) yang dilampiri laporan
keuangan yang telah mendapatkan opini WTP pun masih dilakukan pemeriksaan pajak
dan bahkan dapat diterbitkan/dikoreksi dengan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) oleh DJP. Oleh sebab itu, BAPEPAM dan pelaku usaha (WP)
yang terdaftar di bursa menuntut perlakuan perpajakan yang memiliki
keberpihakan bagi WP PT Tbk, terlebih bagi yang telah memperoleh opini WTP.
Keberpihakan dimaksud menurut Hidayat (2009a) adalah
perlakuan yang berbeda, misalnya tarif
lebih rendah dari tarif yang berlaku bagi WP (non PT Tbk), dan tuntutan lainnya
yaitu memfungsikan opini akuntan (WP PT Tbk yang laporan keuangannya telah
diuadit oleh akuntan publik dan mendapat opini WTP agar tidak dilakukan
pemeriksaan, kecuali WP terindikasi melakukan tindak pidana yang berhubungan
dengan masalah keuangan, akuntansi, atau masalah perpajakan).
3.2. Memaksimalkan
Peran Opini Akuntan
Laporan keuangan WP yang telah diaudit oleh akuntan
publik (AP atau KAP) akan mendapatkan opini akuntan, laporan keuangan yang
telah mendapatkan opini tersebutlah yang kemudian dilampirkan dalam SPT. SPT
yang disampaikan WP ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) selanjutnya dilakukan
penelitian mengenai kelengkapan dan kebenaran formal, apabila hasil penelitian
menemukan adanya kekurangan pembayaran pajak akan ditindaklanjuti dengan
penerbitan STP.
Lain halnya, apabila hasil penelitian menemukan adanya
indikasi kesalahan material selanjutnya diteruskan kepada Account Representative (AR) untuk memanggil WP dengan melakukan
tindakan konseling agar WP melakukan pembetulan SPT atas kemauan sendiri tentu
saja dengan arahan dan persetujuan AR, namun apabila pembetulan sendiri tidak
dimungkinkan atau WP menolak melakukan pembetulan sendiri, akan ditindaklanjuti
dengan melakukan pemeriksaan, sebagai ketetapan (untuk menagih) hasil
pemeriksaan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak [SKPKB, SKPKBT,
SKPN, atau SKPLB].
Gambar 3.1
Audit Laporan Keuangan, Penetapan, dan Ketetapan
Tindaklanjut dari memanfaatkan opini akuntan dalam
pemeriksaan adalah memaksimalkan peran opini akuntan dalam penetapan STP,
penetapan STP yang didasarkan dari opini akuntan akan lebih obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan lebih transparan, karena opini akuntan adalah
merupakan penilaian atas pembukuan terhadap transaksi yang dilakukan oleh WP,
oleh pihak yang independen dan melalui proses yang berkualitas (Wallace, 1980).
Selain itu, memaksimalkan peran opini akuntan dapat pula dilakukan
saat penerbitan surat ketetapan pajak [SKPKB, SKPKBT, SKPN, dan SKPLB], karena ketetapan
tersebut terbit setelah dilakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang
disampaikan oleh WP sebagai lampiran SPT. Pemeriksa telah dengan seksama
mencermati laporan keuangan saat melakukan tugas profesional sebagai pemeriksa
pajak, terlebih pemeriksa telah dapat melihat langsung bukti-bukti yang telah
dikuatkan oleh adanya opini dari akuntan publik profesional yang telah
melakukan proses audit dengan cara-cara yang profesional pula sesuai dengan
prosedur dan standar pemeriksaan yang berlaku.
Tidak berlebihan kiranya, dalam ketetapan pajak fiskus
dapat menggunakan opini akuntan sebagai dasarnya. Dengan demikian, usaha keras
WP dalam melaksanakan akuntansi dan kerja keras AP/KAP dalam melakukan audit
sampai dengan mendapatkan keyakinan yang memadai untuk menerbitkan opini, akan
mendapatkan manfaat yang seimbang.
Bila kenyataannya terjadi sebaliknya, menurut Hidayat
(2009c) opini akuntan seolah-olah tidak berarti apa-apa bagi DJP. Hal ini
membuat banyak perusahaan enggan mencatatkan sahamnya di bursa untuk menjadi PT
Tbk dan perusahaan juga enggan dan merasa tidak perlu menggunakan jasa audit
atas laporan keuangan, karena laporan keuangan yang telah diaudit tidak
mempunyai daya guna yang lebih luas termasuk untuk kepentingan pelaporan pajak,
padahal biaya yang dikeluarkan untuk
jasa audit relatif mahal, sehingga mengauditkan laporan keuangan dianggap akan
memperoleh manfaat yang tidak seimbang dengan biaya yang telah dikeluarkan
(Hidayat, 2009b).
Apabila kondisi di atas tidak segera dibenahi,
dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi dunia akuntansi dan bahkan imbasnya
dapat merambah ke DJP, hal-hal yang
dapat terjadi, misalnya: (1) Perusahaan enggan mendaftarkan/listing di bursa efek, (hal ini,
bertentangan dengan semangat memajukan Bursa Efek Indonesia), (2) Perusahaan
enggan untuk mengauditkan laporan keuangannya, sehingga akan sulit mencari
laporan keuangan yang objektif, informatif, dan transparan (3) Perusahaan besar
(PT Tbk) akan memecah perusahaannya (delisting)
menjadi perusahaan kecil, dengan demikian akan meningkatkan jumlah WP tetapi tidak
meningkatkan penerimaan pajak, bahkan dapat memperkecil jumlah penerimaan
pajak.
Dengan demikian, sudah saatnya DJP memanfaatkan opini
akuntan (terutama opini WTP) sebagai salah-satu pertimbangan dalam menetapkan
WP yang akan dilakukan pemeriksaan pajak. DJP dapat pula memanfaatkan opini
akuntan sebagai dasar dalam menetapkan besaran koreksi dalam STP, besaran koreksi
dalam SKPKB, dan besaran koreksi dalam SKPKBT.
IV. Penutup
Opini akuntan adalah hasil kerja auditor [AP/KAP] yang
dilakukan sesuai dengan prosedur dan standar audit yang telah dipercaya oleh
berbagai pihak yang berkepentingan. Pengorbanan waktu dan biaya dalam proses
audit tersebut tidaklah murah. Sehingga tidak semua perusahaan (WP) memiliki
anggaran audit tersebut. WP yang telah mengauditkan laporan keuangannya
mengharapkan adanya manfaat yang seimbang dari pengorbanannya tersebut.
Salah satu cara untuk
memenuhi harapan WP (mengatasi masalah ketidak-seimbangan) antara manfaat
dengan biaya yang dikeluarkan, adalah dengan meningkatkan manfaat opini akuntan
secara optimal, terutama yang berkait dengan masalah perpajakan. Opini akuntan
dijadikan pertimbangan dalam penetapan WP yang akan diperiksa dan bahkan dapat
dijadikan dasar dalam penerbitan penetapan pajak [STP] dan ketetapan pajak [SKPKB dan SKPKBT].
Daftar
Pustaka
Agoes, Sukrisno. 2003. Pengaruh Penerapan Standar
Auditing, Penerapan Standar Pengendalian Mutu dan Kualitas Jasa Audit terhadap
Tingkat Kepercayaan Pengguna Laporan Akuntan Publik, Disertasi PPs UNPAD (tidak dipublikasikan)
Agoes, Sukrino dan
Estralita Trisnawati. 2009. Akuntansi
Perpajakan, Edisi 2, Jakarta: Salemba Empat
Boynton William C, Kell, Water G.2001. Modern Auditing, Sixth Edition, New
York: John Wiley & Sons, Inc.
Bwoga,
Hananto, et. al. 2005. Pemeriksaan Pajak di Indonesia, Jakarta:
Grasindo
Gunadi. 2002. Kebijakan
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Berita
Pajak, No. 1464/ Tahun XXXIV/1 April 2002, hal. 43-46
Hidayat, Nur. 2005a. Menolak Hasil Pemeriksaan Pajak, Jurnal Perpajakan Indonesia,
Vol. 5 No. 1, Agustus 2005
Hidayat, Nur. 2005b. Upaya Mengoptimalkan Penerimaan
Pajak, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Terapan,
Vol. 1 No. 2, September 2005
Hidayat, Nur. 2009a. Berdayakan Opini Akuntan. Harian Kontan, edisi 19 Januari 2009
hal. 23
Hidayat, Nur. 2009b. Mengoptimalkan Opini Akuntan
dalam Pemeriksaan Pajak. Jurnal Ekonomi
Manajemen dan Akuntansi Portofolio, Vol. 6, No. 1, Mei 2009 hal. 31-40
Hidayat, Nur. 2009c. Opini Akuntan (WTP) sebagai Pertimbangan dalam Menetapkan SPT
Diperiksa. Prociding Simposium Nasional Perpajakan
2. Bangkalan: SNP 2 Universitas Trunojoyo Madura
Hidayat, Nur. 2011. Substansi Akuntansi: Prioritas
dalam Pemeriksaan Pajak. Prociding Simposium Nasional Perpajakan 3. Bangkalan: SNP 3 Universitas Trunojoyo Madura
IAI. 2001. Standar Profesional Akuntan Publik,
Jakarta: Salemba Empat
IAI. 2012. Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta:
Ikatan Akuntan Indonesia
Konrath, Laweyy F.
2001. Auditing Concept and Applications,
A Risk-Analysis Approach, 5th. Edition, West Publishing Company
Peraturan Menteri Keuangan
PMK-23/PMK.03/28
Jo PER-5/PJ/2009
UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tatacaya
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009
UU No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008
Wallace, W.A. 1980.
The Economic Role of the Audit in Free and Regulated Markets. Touche Ross &
Co. Aid to Education Program. Dalam Watkins, Ann L, Hillison, William,
Morecroft, Susan E. 2004. Audit Quality: A Synthesis of Theory and Empirical
Evidence. Journal of Accounting
Literature, Vol. 23 hal 153-193
No comments:
Post a Comment