Custom Search

Thursday, June 11, 2009

AGAR PAJAK TIDAK DIPERIKSA

(Dimuat di Harian Kontan, Kamis, 19 Pebruari 2009)

Nur Hidayat
Doktor Akuntansi PPs UNPAD Bandung
Dosen D3 FEB UNPAD


Menjelang batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), sudah menjadi kebiasaan bagi seluruh korporasi (WP Badan) merupakan saat-saat sibuk menyiapkan laporan keuangan, karena laporan keuangan merupakan lampiran yang wajib disertakan.
Menyiapkan laporan keuangan untuk kepentingan SPT PPh Badan (1771) harus sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh UU No. 28/2007 Pasal 28 (7) sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal [neraca], penghasilan dan biaya [laporan laba-rugi], serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Disisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga tengah sibuk mengumpulkan penerimaan pajak sesuai dengan tugasnya, atau dapat juga untuk mengukir prestasi, sehubungan dengan reformasi yang tengah terjadi di instansi ini.
Upaya yang biasanya akan bersentuhan langsung dengan Wajib Pajak (WP) dan berhubungan dengan SPT yang telah disampaikan adalah ”meneliti SPT”, dengan maksud melihat kesahihannya, hal ini dilakukan oleh KPP (Fiskus) sebagai upaya deteksi dini atas kesalahan-kesalahan dalam SPT.
Langkah berikutnya, adalah mengolah data dari SPT yang telah masuk dengan melakukan penelitian SPT, yang biasanya lebih melihat kejanggalan-kejanggalan kasat mata (untuk ini sudah masuk kepada wilayah material). Kejanggalan yang biasanya menjadi pusat perhatian adalah sinkronisasi pelaporan antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN (1107) dan dengan SPT PPh Pasal 21 (1721).
Sinkronisasi SPT sebenarnya merupakan penelitian pendahuluan, dengan tujuan apabila dalam tindakan pendahuluan ini ditemukan perbedaan, biasanya Fiskus membuat surat himbauan untuk pembetulan SPT.
Tindakan Fiskus meminta penjelasan (mensinkronkan antar SPT) atau bahkan meminta WP untuk membetulkan SPTnya, tidak harus ditanggapi dengan kecemasan. WP hanya dihimbau untuk membetulkan, dan apabila WP punya cukup alasan mengapa terjadi perbedaan, WP juga tidak harus selalu melakukan pembetulan.
Perbedaan antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN merupakan hal yang wajar terjadi, karena adanya perbadaan saat pengakuan penjualan dan saat diterbitkan faktur pajak. Yang tidak boleh terjadi adalah adanya perbedaan antara SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 [Business News 7457 hal. 11]
Masalahnya akan menjadi rumit, apabila himbauan pembetulan ini hanya merupakan langkah awal dari Fiskus untuk melakukan tindakan lanjutan, tindakan lanjutan yang ditakuti oleh sebagian besar WP adalah pemeriksaan, dan biasanya mengakibatkan terbitnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang jumlahnya material (mengganggu cashflow perusahaan).

Sinkronisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21
Sinkronisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur pengecekan yang sebaiknya dilakukan oleh WP terhadap jumlah beban gaji dan tunjangan serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya, yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 21 dan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.
Sinkronisasi dimaksud meliputi: dasar pengenaan pajak yang terdiri dari gaji dan tunjangan serta biaya lainnya yang menjadi obyek PPh Pasal 21, apakah jumlahnya telah sama antara yang ada dalam SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21? [lihat Business News 7457 hal.11] Apabila masih tidak sama, tidak ada tawaran lain kecuali dibetulkan dan harus sama antara beban gaji yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi lampiran SPT PPh Badan dengan gaji yang dilaporkan dalam SPT PPh Pasal 21.

Sinkronisasi SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN
Perbedaan peradaran bruto (omzet) sebagai dasar pengenaan pajak (DPP) antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN adalah hal yang wajar terjadi. Oleh karena itu, WP sebaliknya tidak perlu terlalu khawatir, hanya akan lebih baik apabila antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN jumlah peredaran bruto atau dasar pengenaan pajak (DPP PPN) nya dapat disinkronkan sehingga menunjukkan angka yang sama.
Bila WP tetap mempertahankan angka yang berbeda antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN perlu mempersiapkan penjelasan yang memadai, apabila sewaktu-waktu diminta oleh fiskus, karena fiskus akan melakukan equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN berkaitan dengan perbedaan tersebut.
Dalam hal ada perbedaan antara omzet penjualan yag tercantum pada SPT PPh Badan dengan DPP dalam SPT Masa PPN, WP dapat berargumentasi dengan didasari oleh ketentuan yang mengaturnya. Perbedaan dapat terjadi disebabkan, karena:
1. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh Badan lebih besar dari omzet penjualan SPT Masa PPN. Pengakuan penjualan untuk SPT PPh Badan menggunakan basis akrual sehingga atas penjualan kredit sudah harus diakuai pada saat terjadi transaksi, sementara pada SPT Masa PPN, penjualan kredit baru dibuat faktur pajaknya pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan barang. Hal ini sesuai dengan pasal 2 (1) huruf a peraturan Dirjen Pajak No. PER-159/PJ./2006 [Business News 7441 hal. 1B-4B] tentang saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan faktur pajak standar.
2. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh Badan bisa lebih kecil dari omzet penjualan di SPT Masa PPN, karena uang muka atas penjualan yang barangnya belum diserahkan, sudah harus dibuat faktur pajaknya, sementara penjualan tersebut baru dicatat sebagai penjualan pada laporan laba rugi (income statement) setelah adanya penyerahan barang. Hal ini sesuai Pasal 2 (1) huruf c peraturan Dirjen Pajak No. PER-159/PJ./2006

Upaya Menghindari SPT Diperiksa
Ada beberapa langkah awal yang dapat dilakukan oleh WP agar SPT yang disampaikan ke KPP tidak berbuntut pada pemeriksaan. Langkah dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Pastikan angka-angka yang disajikan dalam SPT PPh Badan sinkron dengan angka-angka yang dalam SPT Masa PPN dan beban gaji dalam laporan keuangan sinkron dengan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 dan SPT PPh Pasal 21. (2) Pastikan SPT tidak dalam kondisi lebih bayar atau laporan keuangan (laporan laba-rugi) dalam kondisi rugi. (3) Pastikan tidak terjadi kesalahan dalam penghitungan dan kesalahan dalam pengisian. (4) Pastikan penyajian laporan keuangan sesuai dengan PSAK No. 46 tentang Akuntansi PPh dalam hal laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik, atau sesuai dengan Pasal 28 UU No. 28/2007 tentang KUP. (5) Buatkan koreksi fiskal sesuai dengan ketentuan Akuntansi Pajak dan UU No. 36/2008 tentang PPh. (6) Bila terjadi kurang bayar, pastikan setoran dilakukan tepat waktu dan jumlah yang disetor sesuai dengan kurang bayarnya. (7) Pastikan tidak ada lampiran-lampiran yang tertinggal atau kurang didukung dengan data yang memadai. (8) Pastikan SPT yang disampaikan telah benar, lengkap, dan jelas, serta ditandatangani oleh pihak yang berhak menandatangani. (8) Lebih sempurna, apabila laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik dan mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

PERSOALAN DAFTAR HARTA DALAM SPT

(Telah Dipublikasikan di harian Kontan, Selasa 26 Mei 2009)

Nur Hidayat
Doktor Akuntansi PPs FEB UNPAD Bandung
Dosen D3 FEB UNPAD

Meskipun waktu menyampikan SPT PPh Orang Pribadi (1770 atau 1770S) tahun 2008 telah berakhir 31 Maret 2009 yang lalu, tidak berarti telah selesai semua tanggungjawab WP terhadap SPT yang disampaikan, karena SPT justru saat ini tengah masuk dalam penelitian fiskus, penelitian dimaksud adalah kelengkapan SPT secara formal, juga penelitian aspek material mengenai penghasilan yang dilaporkan, pajak yang dihitung dan diperhitungkan serta setoran-setorannya, dan tidak lupa mengenai daftar harta dan kewajiban yang telah diisikan didalam Lampiran IV SPT 1770/Lampiran II SPT 1770S.
Apabila WP telah mengisi SPT dengan benar baik dari sisi aturan pengisian maupun dari sisi materi laporannya, akan lebih tenang dan ”nyenyak tidur” demikian cuplikan iklan yang disajikan oleh DJP.
Kewajiban pencantuman Daftar Harta dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (1770 dan 1770S) telah diwajibkan sejak pengisian SPT tahun 2001 yang disampaikan paling lambat 31 Maret 2002. Namun, masih banyak dijumpai adanya beberapa WP yang enggan untuk mengisi SPT secara lengkap atau dalam istilah akuntansi dikenal dengan full disclousure (pengungkapan secara menyeluruh) seluruh harta dan kewajiban yang dimiliki oleh WP sesuai dengan kondisi pada akhir tahun takwim (31 Desember).
Alasannya bisa bermacam-macam, ada yang mengatakan bahwa fiskus tidak perlu tahu semua harta dan kewajiban yang dimiliki, yang penting kan setoran pajaknya. Ada juga yang beralasan bahwa kalau mengisi secara lengkap jumlah harta akan memancing fiskus untuk memeriksa dan memeras. Alasan lain yang cukup rasional, mencantumkan harta bisa berimplikasi terhadap pajak-pajak harta yang belum dipajaki secara benar, seperti pencantuman harta dalam bentuk surat berharga, penyertaan modal, piutang-piutang dan lain-lain.
Penyajian daftar harta dalam Lampiran-IV 1770/Lampiran-II 1770S, data tersebut secara tidak langsung oleh fiskus dapat digunakan. Pertama, sebagai sarana untuk melihat pertambahan harta dari tahun ke tahun, apakah rasional atau tidak bila dibandingkan dengan penghasilannya.
Kedua, sebagai sarana untuk mengungkap adanya kewajiban-kewajiban pajak yang lain berkaitan dengan harta seperti: PBB, BPHTB, Sewa, Pajak-Pajak Final, dan lain sebagainya.
Ketiga, untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya penghasilan yang belum dikenakan pajak (belum dilaporkan pajaknya).
Permasalahan-permasalahan yang dapat timbul dari laporan dalam Lampiran-IV 1770/Lampiran-II 1770S (Orang Pribadi) meliputi: (1) Dikoreksinya SPT Tahunan dengan SKP atau dilakukan pemeriksaan pajak yang selanjutnya dapat diterbitkan SKPKB, karena penghasilan yang diterima tidak menunjukkan ada keseimbangan dengan jumlah harta dan kewajiban yang dimiliki WP. (2) Dalam waktu yang panjang akan terus dapat dipantau bila terjadi penambahan dan atau pengurangan harta yang mempunyai implikasi kewajiban perpajakan. (3) Suatu cara yang tidak langsung, upaya pembuktian terbalik atas harta yang dimiliki.
Namun demikian, WP masih punya kesempatan untuk membetulkan SPT yang telah disampaikan selama belum melampaui dua tahun setelah pajak dilaporkan dan belum dilakukan pemeriksaan oleh fiskus. Dengan demikian, bila terjadi kesalahan mengisi, atau ada unsur-unsur lain yang membuat Lampiran-IV 1770/Lampiran-II 1770S pada SPT tahun 2007 dan 2008 yang lalu belum benar atau belum lengkap, masih ada kemungkinan untuk dilakukan pembetulan. Hal ini, akan menambah rasa aman dan kepercayaan WP bila suatu saat diperiksa oleh pemeriksa pajak dari KPP, karena kemungkinan SPT yang dilaporkan diperiksa sangat berpeluang, hal ini didasarkan pada, pertama, karena pemeriksaan adalah merupakan pengujian kepatuhan WP dalam menyampaikan SPT, baik kepatuhan formal maupun material dari SPT yang disampaikan, hal ini sesuai dengan tujuan pemeriksaaan yang tertuang UU No. 28/2007 yang mulai diberlakukan 1 Januari 2008.
Kedua, yang menjadi alasan mengapa SPT berpeluang diperiksa, karena masa daluarsa yang relatif panjang (5 tahun) amatlah memberi waktu bagi pemeriksa untuk memeriksa SPT tahun-tahun yang telah lampau tetapi belum memasuki daluarsa.
Ketiga, target penerimaan pajak dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, dan oleh sebab itu fiskus sangat berkepentingan untuk menaikkan pendapatan pajak dari WP. Dalam APBN-P Tahun 2009 misalnya, kontribusi pajak dalam mendukung pembiayaan negara mencapai angka Rp700 triliun, itu artinya lebih dari 70% pendapatan APBN bersumber dari penerimaan pajak.
Cara yang aman dalam menyajikan harta pada Lampiran-IV 1770/Lampiran-II 1770S adalah sebagai berikut: (1) Memperhatikan rasional tidaknya harta-harta yang dimiliki bila dibandingkan dengan penghasilan yang diterima. (2) Memperhatikan hubungannya dengan kewajiban-kewajiban perpajakannya. (3) Dalam menyajikan harta dalam bentuk simpanan (tabungan, deposito, dll.), harus sama dengan jumlah yang dicantumkan dalam Lampiran-III 1770. (4) Patuhi secara menyeluruh UU/aturan yang mengatur pengakuan pendapatan dan penyajian laporannya secara benar baik materil maupun formil (Pengisian SPT secara benar dan bertanggungjawab).
Untuk menghindari pemeriksaan tentu sudah terlambat, tetapi paling tidak sebagai upaya pengamanan agar jangan terjadi pemeriksanaan yang berbuntut panjang dan berimplikasi merugikan, masih dapat diupayakan, salah satunya adalah dengan melakukan pembetulan SPT, atau yang juga tak kalah pentingnya adalah menyiapkan dokumen-dokumen yang terkait dengan laporan SPT tersebut. Implikasi dari pemeriksaan yang paling dekat adalah adanya kenaikan jumlah pajak terutang, beban bunga, dan denda dengan dikeluarkannya STP dan atau SKPKB. Tetapi implikasi yang paling menakutkan adalah sanksi pidana (penjara).