Custom Search

Friday, April 5, 2013

Pemeriksaan Pajak (Menghindari dan Menghadapi)



Detail Buku

Judul                 : Pemeriksaan Pajak (Menghindari dan Menghadapi)
Penulis             : Dr. Nur Hidayat, SE,ME,Ak,BKP
No. Id. Elex : 237130499
ISBN / EAN : 9786020208015 / 9786020208015
Jumlah Hlm : 416
Berat Buku : 596 gram
Dimensi( pxl ) : 230 mm x 150 mm
Published Date : Rabu, 27 Maret 2013
Harga : Rp 69.800
                         >>Pesan Disini<<
Sinopsis

Friday, December 21, 2012

PEMBUKUAN (AKUNTANSI) WAJIB PAJAK: Alat Bantu Substantif Pemeriksa Pajak


 
(Dipresentasikan dalam Call for Paper dan Seminar Nasional Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 14 Desember 2012)

Nur Hidayat
Konsultan Akuntansi Perpajakan TAXAcc Consulting Bandung
Dosen Program Magister Akuntansi Universitas Pancasila Jakarta


Abstract
            Tax collection system reform undertaken since 1983, has drastically changed the tax collection system which was originally adopted official assessment system was changed to self assessment system.
One side, the Taxpayer (WP) was entrusted to calculate, pay, and report its own amount of tax that should be payable, but on the other hand, requires WP to be ready to face the compliance testing for the taxes reported, i.e. facing tax audit.
Substantive tax audit is a necessity that is more acceptable to the WP, but when more priority aspects of the formality tax audit, WP often cannot accept the correction tolerant of the auditor.
Tax auditor must be priority substance of accounting for uncovering correctness transactions.

Keywords: self assessment, substantive tax audit, formality tax audit, substance of  accounting, and correctness transactions.
 
I. PENDAHULUAN
Penyajian laporan keuangan merupakan hasil akhir (output) dari proses pembukuan (akuntansi),  dari laporan keuangan tersebut diharapkan dapat member-kan informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi yang digunakan untuk kepentingan internal  maupun kebutuhan eksternal, salah satu kebutuhan eksternal yang sangat penting adalah

Thursday, December 20, 2012

MEMAKSIMALKAN PERAN OPINI AKUNTAN DALAM PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK


Download Full Paper "Klik Disini"

(Dipresentasikan dalam Call for Paper dan Seminar Nasional Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, 4 Oktober 2012)


Nur Hidayat
Konsultan Akuntansi Pajak TAXAcc Consulting Bandung


Abstract

There are five opinion types which can be given by accountant to financial statement which has been audited by public accountant, (1) undualified opinion  (wajar tanpa pengecualian), (2) unqualified opinion with explanatory language (pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku), (3) qualified opinion (pendapat wajar dengan pengecualian), (4)  adverse opinion (pendapat tidak wajar), and (5) disclaimer opinion (pendapat tidak memberikan pendapat).
Unqualifield opinion is a result of professional works of an Public Accountant that confessed  its independency, so feasible  when unqualifield opinion has the huge benefits either formaly and materialy.
 Recently Directorate General of Taxes (DJP), accountant opinion mainly unqualifield opinion (WTP) is exploited optimally especially on tax determining and determination, considering to get the unqualifield opinion management accountant has attempted to present the financial statement transparency which has been conducted refers to Financial Accounting Standard (SAK) and there is no unvalid presentation it means that the financial statement has refered to standardized process of presentation.

Keyword: accountant opinion, uqualifield opinion (WTP), tax determining and  determination

 
I. Pendahuluan
Perusahaan yang telah berusaha untuk mengelola kegiatan usahanya secara profesional dan transparan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan (good corporate governance)  membutuhkan opini dari akuntan publik atas laporan keuangannya, untuk membuktikan bahwa perusahaannya telah berjalan sesuai dengan harapan para investor dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Tuesday, December 18, 2012

AKUNTANSI: Dalam Perspektif Al-Qur’an

Oleh: Nur Hidayat, SE.
Alumni S1 Akuntansi, Mahasiswa Program Magister (S2)
Ekonomi Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Doktor (S3) Akuntansi Pajak Universitas Padjadjaran (UNPAD).


Al-Qur’an (2:282)

Ya ayyuha al-ladzina amanu idza tadayantum bi-daynin ila ajalin musamman fa-aktubuhu, wa-alyaktub baynakum katibun bi-al-’adli, wala wa’ba katibun an-yaktuba kama ‘allamahu Allah, falyaktub walyuhlili al-ladzi ‘alaihi al-haqqu walyattaqi Allaha Rabbahu wala yabkhas minhu syayan, fa-in kana al-ladzi ‘alaihi al-haqqu safihan aw dha’ifan aw la yastathi’u an yumilla huwa falyuhlil waliyyuhu bi-al’adli, wa-astasyhidu syahidayni min rijalikum fain lam yakuna rajulayni fa-rajulun wa-amraatani minhunna tardhawna mina al-syuhadai an tadhilla ihdahuma fa-tudzakkira ihdahuma al-ukhra, wala yaba al-syuhadau idza madu’u, wala tas’amu an-taktubuhu shaghiran aw kabiran ila ajalihi, dzalikum aqsathu ‘inda Allahi wa-aqwamu li-asysyahadati wa-adna alla tartabu illa an yakuna tijaratan hadhiratan tudirunaha baynakum fa-laysa ‘alaikum junahun alla taktubuha wa-asyhidu idza taba ya’tum, wala yudharra katibun wala syahidun, wa-in taf’alu fainnahu fusuqun bikum, wa-attaqu Allaha, wa-yu’allimukumu Allaha wa-Allahu bikulli syayin ‘alimun.


Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah (transaksi ekonomi pen.), tidak secara tunai untuk waktu yang

Monday, February 13, 2012

Menyoal Pajak Khusus UMKM

Nur Hidayat
Doktor Akuntansi Pajak FEB UNPAD Bandung
Pengajar dan Peneliti Perpajakan



Berbagai reaksi bermunculan baik yang mendukung maupun yang menentang, seiring akan diterbitkan beleid pajak khusus bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Tidak kurang seorang pengamat pajak sekelas Darussalam juga ikut memberikan analisisnya dalam Kontan (21/7) yang mendukung rencana pemerintah menerbitkan beleid tersebut.
Reaksi tandingan datang dari para pelaku UKM dan asosiasi yang terang-terangan menolak rencana pajak baru tersebut (baca Kontan edisi Jum’at (22/7), penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Hasil ilustrasi perhitungan sederhana pengenaan pajak yang langsung dari omzet meskipun tarifnya lebih rendah, beban pajaknya akan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan perhitungan pajak yang berlaku saat ini (pajak dihitung dari penghasilan neto).
Bagaimana perlakuan pajak khusus UKM tersebut bila ditilik dalam tinjauan konseptual?

Konsep Pemajakan
Menurut Adam Smith (1776) dalam Smith’s Cannon terdapat batasan prinsip yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak, prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, prinsip kesamaan/keadilan (equality); pajak haruslah sesuai dengan kemampuan relatif dari

Monday, March 15, 2010

PENYIMPANGAN PEMERIKSAAN PAJAK

Oleh: Nur Hidayat
Kandidat Doktor Akuntansi PPs FE UNPAD Bandung

Dimuat di Harian Kontan, 16 Pebruari 2010


Sengketa pajak biasanya diawali dari adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat antara WP dengan Fiskus atas pajak terutang. WP dapat mengambil sikap dan bahkan dapat mempersengketakan dengan mengajukan keberatan atas koreksi dari Fiskus yang telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak.
Banyak WP yang merasa tidak berani (kurang pede) untuk mengajukan keberatan sekalipun WP mempunyai bukti dan alasan yang kuat untuk menolak hasil pemeriksaan, hal ini dapat terjadi karena berbagai alasan, tetapi alasan yang paling sering dilontarkan oleh WP adalah tidak mau menghadapi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dianggap banyak menyita waktu dan pikiran, sehingga WP banyak yang ingin cepat selesai permasalahan pajaknya dengan menerima saja (pasrah) atas hasil pemeriksaan, sekalipun terkadang koreksinya membebani.
Anggapan sebagian WP mengenai pengajuan keberatan yang menyita waktu dan pikiran sebenarnya tidak sepenuhnya benar atau bahkan boleh dibilang keliru, karena secara hukum telah diatur dalam UU KUP yang menyatakan bahwa atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, dan SKPN, WP dapat mengajukan keberatan, itu artinya sangat dimungkinkan dan syah, bila WP menolak hasil pemeriksaan dengan mengajukan keberatan.
Perlu diketahui pula, bahwa DJP harus memberi keputusan atas pengajuan keberatan yang diajukan WP tersebut, paling lama 12 bulan. Apabila setelah lewat waktu 12 bulan belum juga ada keputusan, pengajuan keberatan WP dianggap diterima (Pasal 26 ayat [1] UU KUP).
Apabila WP benar-benar mencermati substansi dari Pasal 26 ayat [1] ini, seharusnya WP merasa diuntungkan. Alasannya, bisa saja Fiskus karena kesibukan-nya, tidak dapat memanfaatkan waktu yang 12 bulan tersebut untuk mempelajari kasus WP sehingga masa 12 bulan terlampaui, keberatan WP tidak sempat diproses apalagi dijawab dan itu artinya keberatan WP diterima.
Memang, ada beberapa kemungkinan keputusan keberatan yang dapat diberikan oleh Fiskus kepada WP yang mengajukan keberatan. Keputusan yang paling dinantikan adalah menerima seluruhnya, tetapi Fiskus dapat pula menerima sebagian saja, dan bisa saja Fiskus menolak, atau bahkan menambah jumlah pajak terutang (Pasal 26 ayat [3] UU KUP). Keputusan menambah jumlah pajak terutang yang disebut terakhir yang sedikit mengganggu nyali WP untuk mengajukan keberatan, sehingga seolah-olah menjadi kecil kemungkinan WP menolak hasil pemeriksaan.

Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak, bila dilihat dari pengertian secara definitif adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Bwoga, et. al., 2005)
Sistem self assesment dalam peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia yang mulai diterapkan sejak reformasi sistem perpajakan tahun 1983 sangat berpengaruh bagi WP, satu sisi WP diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang tetapi di sisi lain mengharuskan WP untuk siap menghadapi pengujian kepatuhan atas pajak yang dilaporkan.
Pemeriksaan sampai saat ini masih dipandang sebagai momok yang menakutkan dan terkesan angker bagi WP, harus dipahami sebagai hal yang wajar, karena selama ini masih sangat banyak WP yang tidak memahami apa sesungguhnya hakekat pemeriksaan itu sendiri, atau karena pengalaman empiris WP terhadap pemeriksaan memang menunjukkan fakta yang demikian. Hal ini bisa terjadi karena masih adanya oknum fiskus (pemeriksa) yang berprilaku menakutkan sehingga image pemeriksaan sebagai “hantu perpajakan” sulit untuk dihilangkan.
Dalam praktek perpajakan yang sehat seharusnya pemeriksaan tidak lagi dipandang sebagai hal yang menakutkan, hal ini dapat dibangun melalui: Pertama, meningkatkan profesionalisme petugas pemeriksa melalui pendidikan pemeriksaan pajak berkelanjutan dan komprehensif yang tidak hanya memahami tugasnya sebagai pemeriksa tetapi juga memahami siapa yang diperiksa, sejalan dengan yang dinyatakan reformasi ditubuh DJP yang mulai menempatkan dirinya sebagai agen pelayanan kepada WP, sehingga DJP dituntut untuk memahami WP secara utuh, atau diistilahkan “knowing your tax payer”.
Kedua, meningkatkan penanaman moral dan etika bagi pemeriksa, sehingga pemeriksa dapat menghilangkan image pemeriksaan yang menakutkan karena ulah oknum Fiskus yang tidak bermoral, memeras dan mengintimidasi WP, dan yang terpenting lagi adalah hilangkan target pribadi pemeriksa yang ingin memperoleh “pendapatan ekstra” atau dalam bentuk lain “kenaikan pangkat/penghargaan”.

Penyimpangan Tujuan Pemeriksaan
Sejak diterapkannya sistem self assesment dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia, peranan positif WP dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya menjadi semakin mutlak diperlukan. Dengan sistem ini, WP dipercaya penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Sebagai konsekuensinya DJP berkewajiban untuk melakukan pelayanan, pengawasan, pembinaan, dan penerapan sanksi perpajakan. Salah satu bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap WP tersebut adalah melalui pemeriksaan pajak.
Dengan demikian, pemeriksaan pajak tidak lain merupakan pagar penjaga agar WP tetap berada pada koridor peraturan perpajakan. Selanjutnya, DJP berkewajiban pula untuk melakukan penegakan hukum (law enforcement) agar proses dan pelaksanaan sistem self assessment tersebut tetap berada pada aturannya, baik undang-undang maupun peraturan lainnya. Penegakan hukum ini menjadi upaya untuk menciptakan keadilan melalui penerapan peraturan perpajakan secara fair, konsisten, dan konsekuen.
Pengawasan terhadap WP perlu dilakukan guna meningkatkan kepatuhan, yang diharapkan akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak (Mahry, 2003). Tapi pengawasan yang dilakukan selama ini belum maksimal karena tidak didukung data yang diperlukan, belum lagi adanya pemeriksaan yang masih disalahgunakan oleh “oknum pemeriksa” untuk memeras WP (Nur Hidayat, 2005a). Untuk mengatasi hal ini, DJP telah melakukan perjanjian kerjasama dengan berbagai pihak, mulai dari Pemda seluruh Indonesia, perguruan tinggi, dan pihak lainnya.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, DJP juga melakukan upaya intensifikasi (mencari sumber-sumber objek pajak yang belum tergarap), ekstensifikasi (menjaring subjek-subjek pajak baru yang selama ini belum terdaftar sebagai WP), dan penyisiran (penelusuran ke tempat-tempat sentra bisnis tertentu yang potensial) (Nur Hidayat, 2005b). Hal ini, diperkuat dengan pernyataan Mantan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution yang dilansir oleh harian Bisnis Indonesia (Nopember 2006) bahwa pemerintah (DJP) akan meningkatkan persentase jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) yang akan diperiksa. Untuk mendukung rencana tersebut DJP akan menambah tenaga fungsional pemeriksa.
Fungsi pemeriksaan pajak adalah untuk melaksanakan tujuan pemeriksaan pajak, yakni meningkatkan kepatuhan (menguji kepatuhan WP seperti yang tertuang dalam Pasal 29 UU KUP), namun beberapa tahun terakhir tujuan pemeriksaan bukan saja sekedar menguji kepatuhan, tetapi tujuan yang lebih pragmatis dan lebih penting adalah menjalankan fungsi pemajakan (fungsi budgeter) sebagai sumber penerimaan negara.
Dari sinilah awal timbul masalah, Fiskus yang melakukan pemeriksaan di lapangan tidak terkendali, sehingga dapat bertindak melampaui batas dalam melakukan pemeriksaan, seringkali ditemui Fiskus menggunakan kekuasaannya menafsirkan UU atau ketentuan lainnya yang dapat menjerat WP untuk dikenakan sanksi (diterbitkan SKPKB atau SKPKBT), dengan harapan terjadi penambahan penerimaan.
Fiskus lebih melihat aspek formalnya daripada aspek materialnya, padahal seharusnya logika universal dalam pemeriksaan (audit) yang digunakan acuan adalah ”substantive over form” artinya apabila ditemukan bukti-bukti yang mendukung kebenaran transaksi yang dilakukan oleh WP secara material harus dianggap benar, walaupun terdapat kekeliruan yang bersifat formal, sebagai contoh apabila pemeriksa menemukan adanya Pajak Masukan (PM) yang secara formal cacat ”tidak fatal” setelah ditelusuri melalui tindakan konfirmasi kepada lawan transaksinya dan sebagainya, PM tersebut benar-benar ada dan telah dilunasi pajaknya, seharusnya Fiskus secara bijak mengakui PM tersebut untuk tetap dapat dikreditkan, toh... Fiskus dalam hal ini tidak dirugikan, karena tidak ada penerimaan pajak yang terganggu.
Kenyataannya, banyak ditemukan kasus seperti di atas mampu memaksa WP untuk menyerah (menerima koreksi yang dilakukan oleh Fiskus). Sehingga Fiskus seolah telah menganggap bahwa jeratan ini terbukti ampuh untuk menaikkan penerimaan, terbukti banyak WP yang diperiksa dan dikoreksi SPTnya pada akhirnya menyerah tanpa perlawanan yang berarti (tidak mau melakukan upaya hukum seperti mengajukan keberatan, apalagi untuk bersengketa dengan Fiskus dengan melakukan upaya-upaya lanjutan). Bila demikian, sebenarnya telah terjadi penyimpangan dalam tujuan pemeriksaan pajak.

Thursday, June 11, 2009

AGAR PAJAK TIDAK DIPERIKSA

(Dimuat di Harian Kontan, Kamis, 19 Pebruari 2009)

Nur Hidayat
Doktor Akuntansi PPs UNPAD Bandung
Dosen D3 FEB UNPAD


Menjelang batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), sudah menjadi kebiasaan bagi seluruh korporasi (WP Badan) merupakan saat-saat sibuk menyiapkan laporan keuangan, karena laporan keuangan merupakan lampiran yang wajib disertakan.
Menyiapkan laporan keuangan untuk kepentingan SPT PPh Badan (1771) harus sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh UU No. 28/2007 Pasal 28 (7) sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal [neraca], penghasilan dan biaya [laporan laba-rugi], serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Disisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga tengah sibuk mengumpulkan penerimaan pajak sesuai dengan tugasnya, atau dapat juga untuk mengukir prestasi, sehubungan dengan reformasi yang tengah terjadi di instansi ini.
Upaya yang biasanya akan bersentuhan langsung dengan Wajib Pajak (WP) dan berhubungan dengan SPT yang telah disampaikan adalah ”meneliti SPT”, dengan maksud melihat kesahihannya, hal ini dilakukan oleh KPP (Fiskus) sebagai upaya deteksi dini atas kesalahan-kesalahan dalam SPT.
Langkah berikutnya, adalah mengolah data dari SPT yang telah masuk dengan melakukan penelitian SPT, yang biasanya lebih melihat kejanggalan-kejanggalan kasat mata (untuk ini sudah masuk kepada wilayah material). Kejanggalan yang biasanya menjadi pusat perhatian adalah sinkronisasi pelaporan antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN (1107) dan dengan SPT PPh Pasal 21 (1721).
Sinkronisasi SPT sebenarnya merupakan penelitian pendahuluan, dengan tujuan apabila dalam tindakan pendahuluan ini ditemukan perbedaan, biasanya Fiskus membuat surat himbauan untuk pembetulan SPT.
Tindakan Fiskus meminta penjelasan (mensinkronkan antar SPT) atau bahkan meminta WP untuk membetulkan SPTnya, tidak harus ditanggapi dengan kecemasan. WP hanya dihimbau untuk membetulkan, dan apabila WP punya cukup alasan mengapa terjadi perbedaan, WP juga tidak harus selalu melakukan pembetulan.
Perbedaan antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN merupakan hal yang wajar terjadi, karena adanya perbadaan saat pengakuan penjualan dan saat diterbitkan faktur pajak. Yang tidak boleh terjadi adalah adanya perbedaan antara SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 [Business News 7457 hal. 11]
Masalahnya akan menjadi rumit, apabila himbauan pembetulan ini hanya merupakan langkah awal dari Fiskus untuk melakukan tindakan lanjutan, tindakan lanjutan yang ditakuti oleh sebagian besar WP adalah pemeriksaan, dan biasanya mengakibatkan terbitnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang jumlahnya material (mengganggu cashflow perusahaan).

Sinkronisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21
Sinkronisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur pengecekan yang sebaiknya dilakukan oleh WP terhadap jumlah beban gaji dan tunjangan serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya, yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 21 dan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.
Sinkronisasi dimaksud meliputi: dasar pengenaan pajak yang terdiri dari gaji dan tunjangan serta biaya lainnya yang menjadi obyek PPh Pasal 21, apakah jumlahnya telah sama antara yang ada dalam SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21? [lihat Business News 7457 hal.11] Apabila masih tidak sama, tidak ada tawaran lain kecuali dibetulkan dan harus sama antara beban gaji yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi lampiran SPT PPh Badan dengan gaji yang dilaporkan dalam SPT PPh Pasal 21.

Sinkronisasi SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN
Perbedaan peradaran bruto (omzet) sebagai dasar pengenaan pajak (DPP) antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN adalah hal yang wajar terjadi. Oleh karena itu, WP sebaliknya tidak perlu terlalu khawatir, hanya akan lebih baik apabila antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN jumlah peredaran bruto atau dasar pengenaan pajak (DPP PPN) nya dapat disinkronkan sehingga menunjukkan angka yang sama.
Bila WP tetap mempertahankan angka yang berbeda antara SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN perlu mempersiapkan penjelasan yang memadai, apabila sewaktu-waktu diminta oleh fiskus, karena fiskus akan melakukan equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT Masa PPN berkaitan dengan perbedaan tersebut.
Dalam hal ada perbedaan antara omzet penjualan yag tercantum pada SPT PPh Badan dengan DPP dalam SPT Masa PPN, WP dapat berargumentasi dengan didasari oleh ketentuan yang mengaturnya. Perbedaan dapat terjadi disebabkan, karena:
1. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh Badan lebih besar dari omzet penjualan SPT Masa PPN. Pengakuan penjualan untuk SPT PPh Badan menggunakan basis akrual sehingga atas penjualan kredit sudah harus diakuai pada saat terjadi transaksi, sementara pada SPT Masa PPN, penjualan kredit baru dibuat faktur pajaknya pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan barang. Hal ini sesuai dengan pasal 2 (1) huruf a peraturan Dirjen Pajak No. PER-159/PJ./2006 [Business News 7441 hal. 1B-4B] tentang saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan faktur pajak standar.
2. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh Badan bisa lebih kecil dari omzet penjualan di SPT Masa PPN, karena uang muka atas penjualan yang barangnya belum diserahkan, sudah harus dibuat faktur pajaknya, sementara penjualan tersebut baru dicatat sebagai penjualan pada laporan laba rugi (income statement) setelah adanya penyerahan barang. Hal ini sesuai Pasal 2 (1) huruf c peraturan Dirjen Pajak No. PER-159/PJ./2006

Upaya Menghindari SPT Diperiksa
Ada beberapa langkah awal yang dapat dilakukan oleh WP agar SPT yang disampaikan ke KPP tidak berbuntut pada pemeriksaan. Langkah dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Pastikan angka-angka yang disajikan dalam SPT PPh Badan sinkron dengan angka-angka yang dalam SPT Masa PPN dan beban gaji dalam laporan keuangan sinkron dengan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 dan SPT PPh Pasal 21. (2) Pastikan SPT tidak dalam kondisi lebih bayar atau laporan keuangan (laporan laba-rugi) dalam kondisi rugi. (3) Pastikan tidak terjadi kesalahan dalam penghitungan dan kesalahan dalam pengisian. (4) Pastikan penyajian laporan keuangan sesuai dengan PSAK No. 46 tentang Akuntansi PPh dalam hal laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik, atau sesuai dengan Pasal 28 UU No. 28/2007 tentang KUP. (5) Buatkan koreksi fiskal sesuai dengan ketentuan Akuntansi Pajak dan UU No. 36/2008 tentang PPh. (6) Bila terjadi kurang bayar, pastikan setoran dilakukan tepat waktu dan jumlah yang disetor sesuai dengan kurang bayarnya. (7) Pastikan tidak ada lampiran-lampiran yang tertinggal atau kurang didukung dengan data yang memadai. (8) Pastikan SPT yang disampaikan telah benar, lengkap, dan jelas, serta ditandatangani oleh pihak yang berhak menandatangani. (8) Lebih sempurna, apabila laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik dan mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).