Nur Hidayat
Doktor Akuntansi Pajak FEB UNPAD Bandung
Pengajar dan Peneliti Perpajakan
Berbagai reaksi bermunculan baik yang mendukung maupun yang menentang, seiring akan diterbitkan beleid pajak khusus bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Tidak kurang seorang pengamat pajak sekelas Darussalam juga ikut memberikan analisisnya dalam Kontan (21/7) yang mendukung rencana pemerintah menerbitkan beleid tersebut.
Reaksi tandingan datang dari para pelaku UKM dan asosiasi yang terang-terangan menolak rencana pajak baru tersebut (baca Kontan edisi Jum’at (22/7), penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Hasil ilustrasi perhitungan sederhana pengenaan pajak yang langsung dari omzet meskipun tarifnya lebih rendah, beban pajaknya akan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan perhitungan pajak yang berlaku saat ini (pajak dihitung dari penghasilan neto).
Bagaimana perlakuan pajak khusus UKM tersebut bila ditilik dalam tinjauan konseptual?
Konsep Pemajakan
Menurut Adam Smith (1776) dalam Smith’s Cannon terdapat batasan prinsip yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak, prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, prinsip kesamaan/keadilan (equality); pajak haruslah sesuai dengan kemampuan relatif dari
setiap Wajib Pajak (WP), perbedaan penghasilan harus digunakan sebagai dasar dalam distribusi pajak, sehingga bukan beban pajak yang penting tapi beban riil dalam arti kepuasan yang hilang haruslah mengandung prinsip keadilan bagi semua.
Beleid baru yang akan diberlakukan yang akan menerapkan tarif pajak dari penghasilan bruto, jelas bertentangan dengan prinsip ini, karena mengabaikan perbedaan besaran penghasilan neto yang diterima oleh WP. Padahal penghasilan neto dari berbagai bidang usaha pasti mempunyai perbedaan, bahkan perbedaan tersebut bisa sangat bervariasi. Tarif PPh final yang sama besarannya, yang diberlakukan selama ini terhadap satu jenis penghasilan yang sama, contohnya untuk PPh final transaksi penjualan saham di bursa efek (tarif 0,1%) atau contoh lainnya PPh final jasa pelaksana konstruksi (tarif 2%). Realitas bisnis UKM saat ini berusaha diberbagai bidang yang berbeda-beda jenis usahanya dengan tingkat keuntungan/ risiko kerugian yang beragam, sangat tidak adil apabila dikenakan pajak dengan tarif yang sama yang menggunakan dasar perhitungan dari peredaran usaha (omzet).
Kedua, prinsip kepastian (certainty); pajak haruslah tegas, jelas dan pasti bagi setiap WP sehingga WP mudah mengerti tentang kewajibannya membayar pajak serta mudah pula untuk pengadministrasiannya bagi pemungut pajak (Pemerintah). Prinsip kedua ini mungkin tidak ada yang dilanggar oleh beleid baru, karena semangat dari beleid ini adalah kepastian dan mudah untuk diadministrasikan. Dengan diterapkannya tarif tunggal dan dasar yang jelas (dari omzet) kepastiannya menjadi jelas dan mudah diterapkan.
Ketiga, prinsip keluesan/kemudahan (convenience); pemungutan pajak jangan sampai menekan WP, tapi hendaknya dilakukan penyadaran bahwa membayar pajak berarti ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa, sehingga WP senang melakukannya. Menurut Chandra Budi (Kontan, 18/8) UKM utamanya sektor mikro dan kecil, memiliki karakteristik tertentu yang memerlukan perlakuan khusus. Harapannya, dengan pemberian kemudahan UKM termotivasi untuk membayar pajak. Kemudahan tersebut bisa saja kontraproduktif apabila beban pajaknya masih dianggap memberatkan WP. Kemudahan akan menjadi efektif apabila dibarengi dengan pembebanan pajak yang sesuai dengan kemampuan WP untuk membayarnya.
Keempat, prinsip ekonomi (economy); pemungutan pajak haruslah menimbulkan beban ekonomi yang minimal, dalam arti jangan sampai biaya pemungutan lebih besar daripada pajak yang akan diterima. Beleid baru yang akan mengatur dan menyediakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) khusus dan Surat Pemberitahuan (SPT) khusus bisa saja membutuhkan pengadministrasian dan pegawai yang khusus pula yang dilatih secara khusus untuk melayani UKM, sudah tentu harus diperhitungkan secara ekonomi. Saat ini telah ada jenis SPT PPh Orang Pribadi (1770ss, 1770s, dan 1770), serta SPT PPh Badan (1771 dan 1771$) dan tentu saja dibutuhkan SPT baru sesuai dengan yang dimaksud oleh beleid tersebut.
Pajak UKM yang Ideal
Pajak khusus bagi UKM idealnya adalah tetap memperhatikan empat prinsip dalam konsep pemajakan (Smith’s Cannon). Pertama, tetap harus memperhatikan prinsip keadilan, hal ini sesuai pula dengan syarat pemungutan pajak harus adil, guna menghindari kesenjangan. Dasar perhitungan pajak UKM yang ideal adalah dari penghasilan neto, bukan dari penghasilan bruto. Perhitungan penghasilan neto (tarif norma) yang selama ini diberlakukan bagi WP OP dapat diadopsi dengan memodifikasi seperlunya.
Kedua, bagi UKM yang tetap memilih menggunakan akuntansi (pembukuan) dalam memperhitungkan penghasilan netonya, harus tetap diakomodir oleh beleid ini. Pembukuan adalah dasar yang paling ideal untuk menghitung penghasilan neto, pembukuan juga dapat mengakui realitas usaha yang dapat mengalami kerugian (risiko kerugian). Pembukuan akan menciptakan transparansi dan pertanggung-jawaban yang lebih baik, sehingga akan menekan pemborosan karena penyimpangan atau ekonomi biaya tinggi.
Ketiga, penyederhanaan SSP yang dibuat mengadopsi slip setoran tabungan bank yang ringkas dan sederhana namun tetap dapat dijaga akurasi dan kecukupan informasi yang ingin disajikan. Penyetoran dapat dilakukan diberbagai bank umum (pusat, cabang, bahkan kantor kas) yang dapat diterima selama kas buka, tidak seperti yang terjadi sekarang setoran hanya diterima pada jam-jam tertentu dan hanya pada cabang-cabang tertentu. Setoran dapat pula dilakukan melalui transfer antar bank maupun setoran via Anjungan Tunai Mandiri (ATM), e-banking, sms banking, dan sebagainya sesuai dengan fasilitas perbankan modern.
Keempat, penyederhanaan SPT yang akan digunakan dalam melaporkan pajak, form 1770s dapat diadopsi dengan memodifikasi seperlunya. Form SPT harus mudah didapatkan, seperti disediakan di tempat-tempat pembayaran, bukan di kantor pajak (KPP) seperti sekarang ini.
Kelima, tarif pajak yang sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk membayarnya, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani dengan pembayaran pajak, tarif 0,5% dari omzet untuk UKM yang beromzet sampai dengan Rp300 juta dinilai cukup pantas. Namun tarif 3% dari omzet lebih dari 300juta sampai dengan 4,8 milyar dinilai masih memberatkan, idealnya maksimum tarifnya adalah 1 sampai dengan 2%. Bagi UKM yang memiliki omzet lebih dari 4,8 milyar tetapi tidak lebih dari 50 milyar tetap diberlakukan sesuai dengan Pasal 31e UU No.36/2008 (sebagian mendapat fasilitas 50% x 25% dan sebagian lagi dikenakan tarif normal 25%).
Dengan menyiapkan beleid pemajakan bagi UKM yang ideal akan dapat meraih rencana Pemerintah dalam menjaring potensi pajak dari sektor UKM yang selama ini belum tergarap secara optimal.
Dimuat di Harian Kontan, 16 September 2011
Doktor Akuntansi Pajak FEB UNPAD Bandung
Pengajar dan Peneliti Perpajakan
Berbagai reaksi bermunculan baik yang mendukung maupun yang menentang, seiring akan diterbitkan beleid pajak khusus bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Tidak kurang seorang pengamat pajak sekelas Darussalam juga ikut memberikan analisisnya dalam Kontan (21/7) yang mendukung rencana pemerintah menerbitkan beleid tersebut.
Reaksi tandingan datang dari para pelaku UKM dan asosiasi yang terang-terangan menolak rencana pajak baru tersebut (baca Kontan edisi Jum’at (22/7), penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Hasil ilustrasi perhitungan sederhana pengenaan pajak yang langsung dari omzet meskipun tarifnya lebih rendah, beban pajaknya akan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan perhitungan pajak yang berlaku saat ini (pajak dihitung dari penghasilan neto).
Bagaimana perlakuan pajak khusus UKM tersebut bila ditilik dalam tinjauan konseptual?
Konsep Pemajakan
Menurut Adam Smith (1776) dalam Smith’s Cannon terdapat batasan prinsip yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak, prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, prinsip kesamaan/keadilan (equality); pajak haruslah sesuai dengan kemampuan relatif dari
setiap Wajib Pajak (WP), perbedaan penghasilan harus digunakan sebagai dasar dalam distribusi pajak, sehingga bukan beban pajak yang penting tapi beban riil dalam arti kepuasan yang hilang haruslah mengandung prinsip keadilan bagi semua.
Beleid baru yang akan diberlakukan yang akan menerapkan tarif pajak dari penghasilan bruto, jelas bertentangan dengan prinsip ini, karena mengabaikan perbedaan besaran penghasilan neto yang diterima oleh WP. Padahal penghasilan neto dari berbagai bidang usaha pasti mempunyai perbedaan, bahkan perbedaan tersebut bisa sangat bervariasi. Tarif PPh final yang sama besarannya, yang diberlakukan selama ini terhadap satu jenis penghasilan yang sama, contohnya untuk PPh final transaksi penjualan saham di bursa efek (tarif 0,1%) atau contoh lainnya PPh final jasa pelaksana konstruksi (tarif 2%). Realitas bisnis UKM saat ini berusaha diberbagai bidang yang berbeda-beda jenis usahanya dengan tingkat keuntungan/ risiko kerugian yang beragam, sangat tidak adil apabila dikenakan pajak dengan tarif yang sama yang menggunakan dasar perhitungan dari peredaran usaha (omzet).
Kedua, prinsip kepastian (certainty); pajak haruslah tegas, jelas dan pasti bagi setiap WP sehingga WP mudah mengerti tentang kewajibannya membayar pajak serta mudah pula untuk pengadministrasiannya bagi pemungut pajak (Pemerintah). Prinsip kedua ini mungkin tidak ada yang dilanggar oleh beleid baru, karena semangat dari beleid ini adalah kepastian dan mudah untuk diadministrasikan. Dengan diterapkannya tarif tunggal dan dasar yang jelas (dari omzet) kepastiannya menjadi jelas dan mudah diterapkan.
Ketiga, prinsip keluesan/kemudahan (convenience); pemungutan pajak jangan sampai menekan WP, tapi hendaknya dilakukan penyadaran bahwa membayar pajak berarti ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa, sehingga WP senang melakukannya. Menurut Chandra Budi (Kontan, 18/8) UKM utamanya sektor mikro dan kecil, memiliki karakteristik tertentu yang memerlukan perlakuan khusus. Harapannya, dengan pemberian kemudahan UKM termotivasi untuk membayar pajak. Kemudahan tersebut bisa saja kontraproduktif apabila beban pajaknya masih dianggap memberatkan WP. Kemudahan akan menjadi efektif apabila dibarengi dengan pembebanan pajak yang sesuai dengan kemampuan WP untuk membayarnya.
Keempat, prinsip ekonomi (economy); pemungutan pajak haruslah menimbulkan beban ekonomi yang minimal, dalam arti jangan sampai biaya pemungutan lebih besar daripada pajak yang akan diterima. Beleid baru yang akan mengatur dan menyediakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) khusus dan Surat Pemberitahuan (SPT) khusus bisa saja membutuhkan pengadministrasian dan pegawai yang khusus pula yang dilatih secara khusus untuk melayani UKM, sudah tentu harus diperhitungkan secara ekonomi. Saat ini telah ada jenis SPT PPh Orang Pribadi (1770ss, 1770s, dan 1770), serta SPT PPh Badan (1771 dan 1771$) dan tentu saja dibutuhkan SPT baru sesuai dengan yang dimaksud oleh beleid tersebut.
Pajak UKM yang Ideal
Pajak khusus bagi UKM idealnya adalah tetap memperhatikan empat prinsip dalam konsep pemajakan (Smith’s Cannon). Pertama, tetap harus memperhatikan prinsip keadilan, hal ini sesuai pula dengan syarat pemungutan pajak harus adil, guna menghindari kesenjangan. Dasar perhitungan pajak UKM yang ideal adalah dari penghasilan neto, bukan dari penghasilan bruto. Perhitungan penghasilan neto (tarif norma) yang selama ini diberlakukan bagi WP OP dapat diadopsi dengan memodifikasi seperlunya.
Kedua, bagi UKM yang tetap memilih menggunakan akuntansi (pembukuan) dalam memperhitungkan penghasilan netonya, harus tetap diakomodir oleh beleid ini. Pembukuan adalah dasar yang paling ideal untuk menghitung penghasilan neto, pembukuan juga dapat mengakui realitas usaha yang dapat mengalami kerugian (risiko kerugian). Pembukuan akan menciptakan transparansi dan pertanggung-jawaban yang lebih baik, sehingga akan menekan pemborosan karena penyimpangan atau ekonomi biaya tinggi.
Ketiga, penyederhanaan SSP yang dibuat mengadopsi slip setoran tabungan bank yang ringkas dan sederhana namun tetap dapat dijaga akurasi dan kecukupan informasi yang ingin disajikan. Penyetoran dapat dilakukan diberbagai bank umum (pusat, cabang, bahkan kantor kas) yang dapat diterima selama kas buka, tidak seperti yang terjadi sekarang setoran hanya diterima pada jam-jam tertentu dan hanya pada cabang-cabang tertentu. Setoran dapat pula dilakukan melalui transfer antar bank maupun setoran via Anjungan Tunai Mandiri (ATM), e-banking, sms banking, dan sebagainya sesuai dengan fasilitas perbankan modern.
Keempat, penyederhanaan SPT yang akan digunakan dalam melaporkan pajak, form 1770s dapat diadopsi dengan memodifikasi seperlunya. Form SPT harus mudah didapatkan, seperti disediakan di tempat-tempat pembayaran, bukan di kantor pajak (KPP) seperti sekarang ini.
Kelima, tarif pajak yang sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk membayarnya, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani dengan pembayaran pajak, tarif 0,5% dari omzet untuk UKM yang beromzet sampai dengan Rp300 juta dinilai cukup pantas. Namun tarif 3% dari omzet lebih dari 300juta sampai dengan 4,8 milyar dinilai masih memberatkan, idealnya maksimum tarifnya adalah 1 sampai dengan 2%. Bagi UKM yang memiliki omzet lebih dari 4,8 milyar tetapi tidak lebih dari 50 milyar tetap diberlakukan sesuai dengan Pasal 31e UU No.36/2008 (sebagian mendapat fasilitas 50% x 25% dan sebagian lagi dikenakan tarif normal 25%).
Dengan menyiapkan beleid pemajakan bagi UKM yang ideal akan dapat meraih rencana Pemerintah dalam menjaring potensi pajak dari sektor UKM yang selama ini belum tergarap secara optimal.
Dimuat di Harian Kontan, 16 September 2011
No comments:
Post a Comment