(Dipresentasikan dalam
Call for Paper dan Seminar Nasional Universitas Pendidikan Indonesia Bandung,
14 Desember 2012)
Nur Hidayat
Konsultan Akuntansi
Perpajakan TAXAcc Consulting Bandung
Dosen Program Magister Akuntansi Universitas Pancasila Jakarta
Abstract
Tax collection system reform undertaken since 1983, has drastically changed the
tax collection system which was originally adopted official assessment system
was changed to self assessment system.
One side, the Taxpayer (WP) was entrusted to calculate,
pay, and report its
own amount of tax that should be
payable, but on
the other hand, requires WP
to be ready to face the compliance testing for the taxes reported, i.e. facing
tax audit.
Substantive tax
audit is a necessity that
is more acceptable to the WP, but when more
priority aspects of the formality tax audit, WP often
cannot accept the correction tolerant of
the auditor.
Tax
auditor must be priority substance of accounting for uncovering correctness transactions.
Keywords: self assessment, substantive
tax audit, formality tax audit,
substance of accounting, and correctness
transactions.
I. PENDAHULUAN
Penyajian laporan keuangan merupakan hasil akhir (output)
dari proses pembukuan (akuntansi),
dari laporan keuangan tersebut diharapkan dapat member-kan informasi dalam rangka memenuhi
kebutuhan informasi yang digunakan untuk kepentingan internal maupun kebutuhan eksternal, salah satu
kebutuhan eksternal yang sangat penting adalah
sebagai dasar dalam perhitungan
kewajiban pajak perusahaan (Gunadi,
2004).
Entitas bisnis (badan atau orang
pribadi yang memilih menggunakan pembukuan) diwajibkan menyampaikan laporan
keuangan dalam setiap tahunnya, laporan tersebut berupa: laporan laba rugi (income
statement) dan laporan
posisi keuangan atau neraca (balance sheet) untuk dilampirkan
dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak, laporan ini dilengkapi dengan
daftar penyusutan aktiva tetap dan [akan lebih baik bila dilengkapi pula dengan
rekonsiliasi fiskal dan perhitungan pajak terutang].
Lampiran berupa laporan keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
SPT dan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak (WP)
yang menyelenggarakan pembukuan
(Hidayat, 2009). Begitu pentingnya fungsi laporan keuangan, sehingga
SPT yang tidak dilampiri oleh laporan keuangan dapat dianggap tidak disampaikan (Pasal 4 ayat [4] UU No. 16/2009 atau UU
KUP).
Laporan keuangan selain berkait
dengan kewajiban PPh Badan atau PPh Orang Pribadi atas laba usaha yang
dilaporakan dalam SPT, ada beberapa kewajiban perpajakan lainnya yang berkait
erat dengan laporan keuangan
(Hidayat, 2003), hal ini yang menjadikan penyajian laporan keuangan (akuntansi) mempunyai peran strategis
dalam perpajakan. Menurut Gunadi (2004) keefektifan administrasi pajak memerlukan adanya
sistem pembukuan (akuntansi) yang sehat dan dapat dipercaya, selanjutnya Gunadi
(2004) menegaskan bahwa apabila suatu pembukuan tidak dapat dipercaya,
kewajaran (kebenaran dan kelengkapan) laporan keuangan sebagai dasar
penghitungan pajak juga diragukan.
Reformasi
sistem pemungutan pajak yang dilakukan sejak tahun 1983, mengubah secara
drastis sistem pemungutan pajak yang semula menganut sistem official assessment diubah menjadi
sistem self assessment, satu sisi WP
diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah
pajak yang seharusnya terutang tetapi di sisi lain mengharuskan WP untuk siap
menghadapi pengujian kepatuhan atas pajak yang dilaporkan, yakni menghadapi pemeriksaan pajak (Hidayat, 2005c).
Pemeriksaan pajak dalam rangka menguji kepatuhan WP secara
substantif akan menggunakan laporan keuangan dan data akuntansi. Menurut
Hidayat (2005c) pemeriksa harus
dibekali dengan pemahaman transaksi berbagai bidang usaha yang dilakukan oleh
WP, sehingga dalam menetapkan atau melakukan koreksi atas transaksi yang
dilakukan terhadap WP tidak hanya melihat aspek formalnya saja, tetapi yang
tidak kalah pentingnya adalah aspek senyatanya (substansial) dari transaksi.
Dalam pemeriksaan akuntansi, akuntan dibekali dengan suatu anggapan penting
dalam memeriksa laporan keuangan kliennya,
“substance over form”
atau substansi lebih utama dibandingkan dengan bukti formalitasnya, bekal ini akan sangat relevan bila diadopsi
oleh pemeriksa pajak (Hidayat, 2011).
Bila demikian, hakekat pemeriksaan dapat betul-betul diwujudkan, sehingga tidak hanya mengejar aspek
formal tetapi mengabaikan substansialnya, justru sebaliknya mengejar
substansial dengan menggunakan aspek formal sebagai salah satu alat bukti yang
dapat diyakini dan meyakinkan (Saidi dan Eka, 2011). Bagi WP pemeriksaan yang
demikian tidak lagi harus
ditakuti tetapi justru ada kebutuhan WP untuk menghadapinya, karena WP juga
butuh pengakuan atas kebenaran dari pembukuan dan SPT yang telah disampaikan, pengujian
kebenaran pembukuan dan SPT dalam perspektif perpajakan adalah melalui
pelaksanaan pemeriksaan yang jujur, objektif, dan profesional.
II. DASAR HUKUM DAN KAJIAN TEORITIS
2.1. Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak
Menurut Gunadi (2010) dasar hukum
pemeriksaan pajak telah diatur dengan undang-undang, peraturan menteri
keuangan, peraturan direktur jenderal pajak, serta surat edaran, dasar hukum
tersebut adalah:
1. Undang-Undang
No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU No 16 Tahun 2009.
2. Peraturan
Pemerintah Nomor 80 tanggal
28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-199/PMK.03/2007 tanggal 28
Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
4. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
PMK-198/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam
Rangka Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.
5. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
PMK-202/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
6. Perarutan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER – 09/PJ/2010 tanggal 01 Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan Untuk
Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
7. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER – 47/PJ/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan Terhadap Wajib Pajak Yang Diduga Melakukan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan.
8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 16/PJ/2009, tanggal 24
Februari 2009 tentang Pelaksanaan Analisis Risiko Dalam Rangka Pemeriksaan Atas
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai Lebih Bayar.
9. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-19/PJ/2008, tanggal 02 Mei 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan
Lapangan
10. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER – 20/PJ/2008 tanggal 02 Mei 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan
Kantor.
11. Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-272/PJ/2002 tanggal 17 Mei 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan,
Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
12. Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-10/PJ.04/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Kebijakan Pemeriksaan Untuk
Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
13. Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-116/PJ./2009 tanggal 21 Desember 2009 tentang Kebijakan Pemeriksaan Untuk
Tujuan Lain.
14. Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-06/PJ.7/2005 tanggal 31 Mei 2005 tentang Sistem Informasi Manajemen
Pemeriksaan Pajak.
2.2. Kajian
Teoritis
2.2.1. Pengertian
Pemeriksaan Pajak
Beberapa pengertian berikut yang perlu
diketahui yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak (PMK-199/PMK.03/2007).
1. Pemeriksaan
adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk mengujikepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2. Pemeriksaan
Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan
usaha atau pekerja bebas, tempat tinggal WP, atau tempat lain yang ditentukan oleh DJP.
3. Pemeriksaan
Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di Kantor DJP.
4. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di
liungkungan DJP atau tenaga
ahli yang ditunjuk oleh Dirjen
Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan
Pemeriksaan.
5. Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan penyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan rugi untuk
periode Tahun Pajak.
6. Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan adalah surat yang berisi tentang hasil
Pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi,
perhitungan sementara jumlah pokok pajak, dan pemberian hak kepada WP untuk hadir dalam Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan.
7. Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference) adalah pembahasan antara WP dan Pemeriksa Pajak atas temuan
Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi baik
yang disetujui maupun yang tidak disetujui.
8. Kertas
Kerja Pemeriksaan adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh
Pemeriksa Pajak mengenai prosedur Pemeriksaan yang ditempuh, data keterangan,
dan/atau bukti yang dikumpulkan, pengujian yang dilakukan dan simpulan yang
diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
2.2.2.
Tujuan Pemeriksaan Pajak
DJP
berwenang melakukan pemeriksaan
dengan tujuan:
1. Untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau
2. Untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Gambar 1
Pemeriksaan Pajak
2.2.3. Tujuan Pemeriksaan Pajak
Tujuan pemeriksaan pajak, meliputi:
1. Pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
Tabel 1
Pemeriksaan Menguji
Kepatuhan
Keterangan
|
Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan
|
Jenis
Pajak
|
Satu jenis pajak,
beberapa jenis pajak, semua jenis pajak
|
Masa/Tahun
Pajak
|
Satu
masa pajak, beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, tahun pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan
|
2. Pemeriksaan
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Ruang lingkup pemeriksaan ini dapat meliputi
penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan.
2.2.4. Jenis
Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan
baik untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan
lain dapat dilaksanakan melalui dua jenis pemeriksaan, yaitu:
1. Pemeriksaan
Lapangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat usaha
atau pekerjaan bebas, tempat tinggal WP atau tempat lain yang ditentukan oleh Dirjen Pajak; dan
2. Pemeriksaan
Kantor, yaitu pemeriksaan
yang dilakkukan di Kantor DJP.
Untuk
pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
diatur lebih lanjut sebagai berikut:
1.
Jenis pemeriksaan dipengaruhi oleh bobot risiko
ketidakpatuhan dari WP yang
diperiksa serta ruang lingkup pemeriksaan. Semakin tinggi risiko ketidakpatuhan
WP, pemeriksaannya
dilaksanakan melalui Pemeriksaan
Lapangan
2.
Apabila ditemukan indikasi transaksi yang terkait
dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi
adanya rekayasa transaksi keuangan, Pemeriksaan Kantor diubah menjadi
Pemeriksaan Lapangan.
2.2.5. Kewajiban Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan
yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan
yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah
harga perolehan dan penyerahan barang/jasa yang diakhiri dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak
(Pasal 1 ayat [29] dan Pasal 4 ayat [4] UU KUP). Neraca dan laporan laba-rugi
yang disajikan oleh WP wajib dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan setiap tahun pajak berakhir (Agoes dan Estralita, 2009)
Ketentuan
pembukuan sebagaimana diatur di dalam UU KUP dinyatakan bahwa pada prinsipnya semua WP wajib menyelenggarakan pembukuan,
kecuali WP tertentu yang
menurut undang-undang perpajakan diperkenankan untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, tetapi harus menyelenggarakan pencatatan (Pasal 14 ayat [2] UU No. 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan). Kewajiban
pencatatan tersebut diatur lebih lanjut dalam SE-1/PJ.04/2009 yang mulai
berlaku 1 Januari 2009.
Pasal
28 Ayat (1) UU KUP mewajibkan
kepada WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan WP Badan di
Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. Jadi, pada prinsipnya semua WP wajib pembukuan.
Namun demikian, bagi WP Orang Pribadi tertentu (melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas)
yang jumlah peredaran usahanya (omzet) kurang dari Rp4,8
miliar boleh tidak menyelenggarakan pembukuan (lihat Agoes dan Estralita,
2009). Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 14 ayat [2] UU PPh.
Undang-Undang
PPN juga menganut asas yang sama, yaitu setiap
WP yang menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib
menyelenggarakan pembukuan. Tetapi, tidak semua PKP sanggup menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena itu, terhadap PKP yang memilih menghitung penghasilannya dengan menggunakan
norma penghitungan penghasilan neto tidak diwajibkan untuk meyelenggarakan
pembukuan, tetapi cukup membuat pencatatan atas nilai peredaran bruto secara
teratur yang menjadi dasar pengenaan pajak untuk menghitung PPN yang terutang.
Terhadap PKP semacam ini
berlaku ketentuan mengenai pedoman pengkreditan pajak masukan, yaitu
untuk menghitung PPN yang harus dibayar dengan menggunakan suatu norma
penghitungan yang berlaku untuk pengkreditan pajak masukan selama masa pajak
tertentu (Bwoga, et. al.
2005).
2.2.5.1. Persyaratan Pembukuan
Menurut Bwoga, et. al. (2005) pembukuan yang diselenggarakan WP dengan ketentuannya haruslah memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1.
Pembukuan harus
diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan
mata uang rupiah dan disusun dalam Bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing
atau satuan mata uang selain rupiah, yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
2.
Pembukuan harus
meliputi seluruh kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan WP.
3.
Pembukuan harus
dilakukan secara teratur dan diselenggarakan dengan prinsip taat asas.
4.
Pembukuan harus
didukung dengan bukti-bukti transaksi yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenaran dan keabsahannya.
5.
Pembukuan harus
dapat ditelusuri kembali apabila diperlukan.
6.
Pembukuan harus
ditutup dengan membuat neraca dan perhitungan laba/rugi pada setiap akhir tahun
pajak.
7.
Pembukuan
sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, utang atau kewajiban,
modal, penghasilan, biaya, penjualan, dan pembelian sehingga dapat dipakai
sebagai dasar untuk menghitung pajak-pajak yang terutang.
2.2.5.2. Tujuan Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan
Diwajibkannya
WP menyelenggarakan pembukuan
adalah agar dapat digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang,
jumlah pajak yang sudah dibayar sendiri atau melalui pemotongan dan atau
pemungutan pihak lain, penghasilan yang bukan objek pajak, penghasilan yang merupakan objek pajak, tetapi telah
dikenakan pajak bersifat final maupun tidak final. Di samping itu, berkaitan
dengan pemeriksaan pajak, pembukuan merupakan dasar bagi pemeriksaan.
Pemeriksaan pajak akan mengalami kesulitan jika tidak didukung oleh adanya
pembukuan yang memenuhi syarat. Oleh karena itu, pembukuan atau pencatatan
haruslah didasarkan pada itikad baik atau pada “adat kebiasaan pedagang yang
baik” dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya (Bwoga, et. al. 2005).
Selanjutnya
hal-hal yang perlu diperhatikan oleh WP bahwa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang menjadi
dasar pembukuan dan dokumen lainnya
wajib disimpan selama 10 tahun di
Indonesia, yaitu di tempat kegiatan usaha atau di tempat tinggal bagi WP Orang Pribadi atau di tempat kedudukan bagi WP Badan.
III. PEMBAHASAN
3.1. Pemeriksaan Pajak
3.1.1. Pemeriksaan
Pajak Substantif
Pemeriksaan, bila dilihat dari pengertian secara definitif
adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan
keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan WP
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (Pasal 19
ayat (1) UU KUP). Pemeriksaan
dilakukan secara objektif dan profesional oleh pegawai fungsional pemeriksa.
Sistem
self assessment memberikan
kepercayaan kepada WP, untuk menghitung pajaknya sendiri, memperhitungkan
kredit pajak yang disetor sendiri maupun yang dipotong/dipungut oleh pihak
lain, menyetorkan jumlah pajak kurang bayar/kurang setor, melaporkan SPT Masa
maupun Tahunan, sistem ini adalah sistem yang paling banyak diterapkan di
negara-negara demokrasi tidak terkecuali Indonesia, selain itu sistem ini juga
memenuhi rasa keadilan karena Fiskus telah memberikan kepercayaan kepada WP,
atau istilahnya ”Fiskus telah positive
thinking terhadap WP”.
Gambar 2
Pemeriksaan Substantif
Dalam
rangka menguji WP, dalam melaksanakan sistem self assessment (menguji: Apakah pajak yang dihitung telah benar
menghitungnya? Apakah kredit pajak yang disetor sendiri dan yang
dipotong/dipungut pihak lain benar-benar ada? Apakah jumlah yang seharusnya
disetor oleh WP telah disetor tepat waktu dan jumlah yang tepat? Apakah SPT
Masa dan SPT Tahunannya telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas, serta
telah dilaporkan tepat waktu?), Fiskus
dapat melakukan pemeriksaan. WP harus siap dan mempersiapkan setiap saat untuk
diuji dengan pemeriksaan sebelum daluarsa/lewat waktu lima tahun (Pasal 13 ayat [4] UU KUP).
Menurut Hidayat (2011) secara
substantif sejatinya pemeriksaan pajak harus berangkat dari anggapan awal
“mempercayai WP”, bila demikian pemeriksaan tidak dijadikan sebagai suatu
sarana untuk mencari-cari kesalahan WP. Fiskus harus memulai pemeriksaan dengan
anggapan awal yang ”netral” tidak ”negative
thinking”, sehingga pemeriksaan betul-betul digunakan oleh Fiskus dalam
rangka mencari kebenaran dari transaksi yang dilakukan oleh WP, apabila
ditemukan bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa transaksi yang dilakukan
oleh WP itu benar dan tidak ada unsur-unsur yang dapat merugikan penerimaan
negara, meskipun secara formal masih terdapat kesalahan, WP tidak disudutkan
dengan koreksi, apalagi sampai meminta tambahan setoran atau bahkan tidak
mengakui setoran/kredit pajak yang benar-benar milik WP. Untuk membuktikan
kebenaran transaksi, Fiskus
juga dapat menggunakan bukti-bukti yang digunakan WP sebagai dasar
pembukuan/pencatatan akuntansi.
3.1.2. Pemeriksaan Pajak Formalitas
Pemeriksaan yang dilakukan Fiskus
terhadap WP saat ini lebih cenderung pemeriksaan formalitas, pengalaman pribadi
penulis dalam mendampingi beberapa WP yang tersangkut masalah saat diperiksa
oleh Fiskus, lebih mengarah pada Fiskus mencari-cari kesalahan formal yang
dilakukan WP baik kesalahan tersebut disadari oleh WP atau yang tanpa disadari
oleh WP bahwa telah melanggar ketentuan formal, atau bahkan seringkali
ditemukan kasus WP dipaksa menanggung kesalahan, padahal kesalahan tersebut
terjadi (dilakukan) oleh pihak lain (lawan transaksinya).
Apabila
pelaksanaan pemeriksaan masih mencari-cari kesalahan WP, atau Fiskus
(Pemeriksa) masih lebih mengutamakan bukti formalnya daripada substansi
transaksinya, jelas hal demikian menyimpang dari prinsip utama dalam
pemeriksaan (auditing) yang diakui
secara universal ”substance overform”
(lebih lanjut baca: The Philosophy of
Auditing – R.K. Mautz & Hussein A. Sharaf). Tindakan yang demikian,
sama halnya dengan Fiskus mengabaikan substansi akuntansi.
Wajar kiranya, sampai saat ini
pemeriksaan masih dipandang sebagai “hantu” yang menakutkan dan terkesan angker
bagi WP, karena selama ini masih sangat banyak WP menemukan prilaku pemeriksa
yang telah menyimpang dari substansi pemeriksaan (baca pula: Penyimpangan Pemeriksaan Pajak - Nur
Hidayat, Kontan, 16 Pebruari 2010). Bahkan, ada joke yang berkembang dikalangan WP ”Kalau sudah diperiksa pajak, jangankan kita salah, kita benar saja bisa
jadi salah” atau joke lainnya ”bila lebih bayar lalu diperiksa pajak, bisa
terbalik menjadi kurang bayar”. Ini bukan sekedar joke biasa, karena banyak fakta di lapangan membuktikan demikian.
Apabila tindakan Fiskus tidak berubah,
yang selalu mencari-cari kesalahan formalnya dan mengabaikan substansialnya,
jelas ini merupakan bukti bahwa Fiskus telah “negative thinking”, membuat asumsi awal bahwa WP telah bersalah,
seharusnya Fiskus bisa bersikap “netral” sehingga temuannya tidak tendensius
untuk berusaha menyudutkan WP. Dalam salah satu prinsip pemajakan yang disyaratkan oleh Adam Smith
(1776) juga mensyaratkan pemungutan pajak harus
lues dan memberi kemudahan kepada WP, prinsip ini dikenal dengan “convenience” (pemungutan pajak jangan sampai menekan WP,
tetapi hendaknya dilakukan penyadaran bahwa membayar pajak berarti ikut berpartisipasi
dalam membangun bangsa, sehingga WP dengan senang melakukannya, bukan dengan
sumpah serapah).
Gambar 3
Pemeriksaan Formalitas
Seharusnya,
formalitas bukan dijadikan tujuan, formalitas hanya sebagai alat untuk membuktikan
kebenaran dari transaksi, itulah sejatinya diadakan formalitas “bukti formal”.
Formalitas diadakan juga untuk menjaga keadilan dalam menerapkan hukum (UU atau
ketentuan lainnya), apabila dari bukti-bukti lain selain formalitas yang
disyaratkan telah dapat menunjukkan (dapat diyakini) bahwa transaksi tersebut
benar-benar terjadi, dibuktikan secara substantif oleh pihak-pihak yang kompeten maka seharusnya formalitas bukan
menjadi satu-satunya rujukan utama, tetapi lebih melihat substansi transaksinya.
3.1.4. Penyimpangan Tujuan Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak tidak lain merupakan pagar penjaga agar WP tetap berada
pada koridor peraturan perpajakan. Pemeriksaan juga merupakan bentuk tanggung jawab DJP dalam melakukan penegakan
hukum (law enforcement) agar proses
dan pelaksanaan sistem self assessment
tetap berada pada aturannya, baik undang-undang maupun peraturan lainnya.
Penegakan hukum ini menjadi upaya untuk menciptakan keadilan melalui penerapan
peraturan perpajakan secara fair dan konsisten.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak
WP yang belum melaporkan kewajiban perpajakannya dengan sebenarnya, sehingga penerimaan pajak
selama ini belum optimal. Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak tersebut, DJP berupaya
melakukan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak yang antara lain dengan melakukan pemeriksaan pajak (Hidayat,
2005c). Dengan adanya pemeriksaan pajak tersebut diharapkan akan menambah
tingkat kepatuhan bagi WP (Mahry, 2003), karena memang salah satu tujuan
penting dalam pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan WP (Pasal 29 UU KUP),
yang diharapkan pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan.
Oleh sebab itu, pengawasan (dengan melakukan tindakan pemeriksaan) terhadap WP perlu dilakukan guna meningkatkan kepatuhan, yang diharapkan
akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak (Mahry, 2003). Tapi pengawasan
yang dilakukan selama ini belum maksimal karena tidak didukung data yang diperlukan, belum lagi adanya pemeriksaan
yang masih disalahgunakan oleh “oknum pemeriksa” untuk memeras WP (Hidayat,
2005a). Untuk mengatasi hal ini, DJP telah melakukan perjanjian kerjasama
dengan berbagai pihak, mulai dari Pemda seluruh Indonesia, perguruan tinggi,
dan pihak lainnya.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak,
DJP juga melakukan upaya intensifikasi (mencari sumber-sumber objek pajak yang
belum tergarap), ekstensifikasi (menjaring subjek-subjek pajak baru yang selama
ini belum terdaftar sebagai WP), dan penyisiran (penelusuran ke tempat-tempat
sentra bisnis tertentu yang potensial) (Hidayat, 2005b). Hal ini, diperkuat
dengan pernyataan Mantan Dirjen Pajak Darmin Nasution yang dilansir oleh
harian Bisnis Indonesia (Nopember
2006) bahwa pemerintah (DJP) akan meningkatkan persentase SPT yang akan
diperiksa. Untuk mendukung rencana tersebut DJP akan menambah tenaga fungsional
pemeriksa.
Fungsi pemeriksaan pajak adalah untuk melaksanakan tujuan
pemeriksaan pajak, yakni meningkatkan kepatuhan (menguji kepatuhan WP seperti
yang tertuang dalam Pasal 29 UU KUP), namun beberapa tahun terakhir tujuan
pemeriksaan bukan saja sekedar menguji kepatuhan, tetapi tujuan yang lebih
pragmatis dan lebih penting adalah menjalankan fungsi pemajakan (fungsi budgeter) sebagai sumber penerimaan negara.
Dari sinilah awal timbulnya
masalah, Fiskus yang melakukan pemeriksaan di lapangan tidak terkendali,
sehingga dapat bertindak melampaui batas dalam melakukan pemeriksaan,
seringkali ditemui Fiskus menggunakan kekuasaannya menafsirkan UU atau
ketentuan lainnya yang dapat menjerat WP untuk dikenakan sanksi (diterbitkan
SKPKB atau SKPKBT), dengan harapan terjadi penambahan penerimaan (Hidayat, 2005a).
Fiskus lebih melihat aspek formalnya daripada aspek
materialnya, padahal seharusnya logika universal dalam pemeriksaan (audit) yang
digunakan acuan adalah ”substantive over
form” artinya apabila ditemukan bukti-bukti yang mendukung kebenaran
transaksi yang dilakukan oleh WP secara material harus dianggap benar, walaupun
terdapat kekeliruan yang bersifat formal.
Temuan Hidayat (2010) pada kasus pemeriksaan pajak pengujian kepatuhan
(SPT Masa PPN Lebih Bayar),
Fiskus menuntut formalitas dan cenderung
meng-abaikan substansi transaksi. WP mengkreditkan faktur
pajak, faktur pajak tersebut ternyata dianggap cacat oleh Fiskus karena tidak
ditandatangani oleh Direktur (atau pihak lain yang berhak menandatangani) WP
tidak menyadari faktur tersebut cacat, (WP menerima faktur dari lawan
transaksinya). Secara formal faktur tersebut tidak dapat dikreditkan, tetapi
setelah dicek dan diteliti secara cermat, transaksi tersebut benar-benar
terjadi, dibukukan oleh bagian akuntansi secara benar, terdapat bukti mulai
dari purchase order, surat jalan, invoice, sampai pada rekening koran bank
telah ada dan sesuai, kemudian dikonfirmasi kepada KPP tempat pihak yang
menerbitkan faktur, dan konfirmasinya berhasil (betul transaksi tersebut telah
dilaporkan dalam SPT Masa PPN) seharusnya faktur pajak tersebut tetap dapat
diakui sebagai kredit pajak karena secara substantif transaksi benar-benar telah terjadi, tetapi kenyataanya
Fiskus tetap berpegang pada formalitas, sekalipun akibat dari koreksi tersebut
merugikan WP, bila demikian formalitas dapat menciptakan ketidakadilan,
sehingga adanya formalitas telah disimpangkan dalam penggunaan-nya.
Berangkat
dari analisis kasus di atas, patut diduga telah
terjadi penyimpangan pemeriksaan pajak (Hidayat, 2010).
Penyimpangan tersebut boleh jadi disengaja dan terorganisir karena
target-target institusi (KPP) dalam mendongkrak penerimaan pajak, dan tidak
menutup kemungkinan adalah ambisi pribadi pemeriksa yang mengharapkan ada point (prestasi) karena telah dapat
menarik tambahan penerimaan pajak akibat dari koreksi yang dilakukan saat
melakukan pemeriksaan, entahlah, semoga praduga ini tidak benar.
Apabila dugaan ini benar, jelas ada
beberapa hal yang secara fundamental harus dibenahi di lingkungan DJP, karena
bila merujuk pada smith’s cannon yang
disampaikan oleh Adam Smith (1776) sebagai syarat prinsipil dalam pemungutan
pajak, antara lain prinsip equality
(keadilan) bahwa pajak harus dipungut secara adil tidak merugikan masyarakat.
Aturan dibuat agar dipatuhi, sehingga pihak yang memegang kekuasaan punya dasar
dalam menetapkan pihak yang bersalah (dan memvonis kesalahan yang benar-benar
dilakukan yang didukung dengan bukti, fakta-fakta, saksi, dan saksi ahli),
aturan tidak dibuat untuk menjebak, sehingga banyak WP yang terperangkap dalam
jebakan.
Apabila motivasi pemeriksaan adalah
menangkap WP yang masuk perangkap jebakan aturan formalitas dan mengabaikan
bukti-bukti substantif (akuntansi),
jelas pemeriksaan patut diduga tidak lagi dalam rangka menguji kepatuhan WP,
tetapi lebih bisa dimaknai “ada motif lain dibalik pemeriksaan”. Menurut Saidi dan Eka (2011) pemeriksa pajak yang
menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dapat
dianggap kejahatan yang dilakukan oleh pegawai pajak kerena dianggap melakukan
kelalaian, hal ini dapat dikategorikan delik pajak menurut Pasal 36A ayat [1]
UU KUP. Dari sudut pandang akuntansi, pemeriksaan pajak yang demikian
itu telah mengabaikan peran substantif akuntansi (Hidayat, 2011). Padahal seharusnya, akuntansi dapat berperan lebih banyak dan
kompre-hensif dalam pemeriksaan pajak.
3.2. Peran Pembukuan Wajib Pajak dalam Pemeriksaan Pajak
Peran
pembukuan (akuntansi) WP diawali dengan adanya perubahan sistem dari official assessment system menjadi self assessment system yang memberi
kepercayaan kepada WP untuk menghitung pajaknya sendiri sejak tahun 1983, peran
akuntansi dan pembukuan sejalan dengan sejarah perpajakan di Indonesia (Agoes
dan Estralita, 2009), bahkan melaksanakan akuntansi merupakan kewajiban bagi WP Badan dan WP Orang Pribadi yang
telah mencapai jumlah peredaran bruto tertentu, hal ini menunjukkan bahwa
akuntansi adalah dasar yang terpenting dalam penghitungan pajak terutang.
Untuk membuktikannya, Hidayat (2003) telah
menginventarisir keterkaitan akuntansi dengan
beberapa kewajiban pajak, dan hampir terjadi pada setiap WP. Pertama,
PPh Badan dan PPh Orang Pribadi yang memilih menggunakan pembukuan, dasar untuk
menghitung penghasilan kena pajak (PKP) dan dasar menghitung kewajiban PPh-nya
adalah laba dari kegiatan usaha, untuk mengetahui besarnya laba secara
sistematis adalah melalui laporan laba-rugi, dalam laporan ini akan menyajikan pendapatan usaha, beban-beban
usaha (termasuk harga pokok),
pendapatan lain-lain dan beban lain-lain, serta selisih antara jumlah
pendapatan dan beban usaha.
Kedua,
kewajiban PPN dan PPn BM, bila komponen dalam pendapatan tersebut terdapat
BKP/JKP yang terutang PPN dan atau penyerahan barang mewah yang terutang PPn
BM, maka laporan laba rugi juga berkait dengan kewajiban PPN yang besarnya
diperhitungkan melalui PPN Keluaran dikurangi dengan PPN Masukan, serta
perhitungan PPn BM yang harus disetor.
Ketiga, kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, yang
penghasilannya di atas PTKP, beban gaji yang dibayarkan kepada karyawan adalah
merupakan komponen beban yang menjadi pengurang pendapatan dalam laporan
laba-rugi yang disajikan oleh perusahaan, bila perusahaan ingin membesarkan
beban dengan “menggelembungkan” beban gaji karyawan, maka akan dimatchkan
dengan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan dan bila tidak sinkron
maka jelas ini terdapat indikasi penggelapan pajak dengan modus membesarkan
beban untuk mengurangi laba perusahaan.
Keempat, kewajiban memotong Pasal Pasal 4 ayat [2] Final atas sewa tanah
dan atau bangunan, yang ditempati/digunakan oleh perusahaan, hal ini berkait
dengan beban sewa yang terdapat dalam komponen beban laporan laba-rugi, tidak
berbeda dengan PPh 21, PPh Final pun sangat berkait dengan laba yang
dicantumkan dalam laporan laba-rugi. PPh Pasal 23 atas jasa-jasa pihak ketiga
yang berkait dengan transaksinya.
Kelima,
bagi perusahaan yang usaha pokoknya memberikan jasa seperti konsultan juga
berkait dengan PPh Pasal 23 atas pendapatan jasa yang artinya hal ini berkait
dengan pencantuman pendapatan pada laporan laba-rugi.
Keenam, adanya pengurangan atau penambahan aktiva tetap berupa tanah
dan/atau bangunan yang tercantum dalam neraca, juga berkait dengan kewajiban
BPHTB yang diwajibkan untuk melunasinya bagi pembeli dan PPh atas penjualan
tanah dan atau bangunan dari segi penjual. Dan sehubungan dengan
kepemilikan/penggunaan/penguasaan atas tanah dan bangunan juga diwajibkan
membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Ketujuh, kenaikan aktiva tetap yang terdapat dalam neraca melalui
mekanisme penilaian kembali (revaluasi) juga merupakan obyek pajak. Pelaksanaan
revaluasi aktiva tetap mengacu pada pasal 19 ayat [1] UU PPh. Selisih penilaian
kembali antara harga pasar dan nilai buku suatu aktiva, merupakan obyek pajak
penghasilan yang bersifat final.
Kedelapan, pembagian
dividen, adanya pembagian dividen didahului oleh pengumuman pembagian dividen
kepada pemegang saham. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat [1] UU PPh,
terutangnya dividen menimbulkan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23. Dividen yang
dibagi berkaitan erat dengan laba ditahan (retained earning) yang
disajikan dalam neraca dan berkait pula dengan laba yang tercantum dalam
laporan laba-rugi.
Hal ini menurut Hidayat (2003), menunjukkan betapa
laporan keuangan memiliki berbagai keterkaitan (koherensi) yang kuat dengan
berbagai kewajiban pajak, baik kewajiban membayar (pajak) atau timbulnya utang
pajak, dan dapat pula timbul kewajiban untuk memotong pajak kepada pihak lain
sehubungan dengan aktivitas usaha
dan tidak terkecuali mempunyai keterkaitan yang erat dengan pemeriksaan pajak.
Begitu pentingnya laporan keuangan
dalam perpajakan, sampai-sampai SPT yang dilaporkan tanpa dilampiri dengan
laporan keuangan dapat dianggap tidak disampaikan (Pasal 4 ayat [4] UU KUP). Bahkan apabila WP menyampaikan laporan keuangan palsu, dapat dikategorikan melakukan kejahatan perpajakan (Saidi dan Eka, 2011), kejahatan
perpajakan tersebut dapat dianggap melakukan tindak pidana dan diancam dengan sanksi
penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari jumlah
pajak terutang atau yang tidak/kurang disetor (Pasal 39 ayat [1]
UU KUP).
Selanjutnya,
peran strategis akuntansi dalam pemeriksaan ditunjukkan apabila WP tidak dapat
menunjukkan bukti-bukti akuntansi dalam pemeriksaan pajak, WP juga dapat
dianggap melakukan kejahatan perpajakan (Saidi dan Eka, 2011) dan dapat diancam
telah melakukan tindak pidana perpajakan. WP dan atau pengusaha kena pajak (PKP) dapat diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun dan denda setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar apabila dengan sengaja, yakni:
1.
Tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, atau tidak memperlihatkan
pembukuan, pencatatan atau dokumen lain, atau
2.
Memperlihatkan
pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah
benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
(Pasal 39 ayat [1] huruf [g] UU KUP).
Ancaman
pidana akan dilipatduakan apabila wajib pajak mengulang tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat waktu
satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan (Saidi dan Eka, 2011).
Tidak berlebihan kiranya, apabila
pemeriksa pajak mengutamakan substansi akuntansi dalam mengungkap kebenaran
dari transaksi yang telah dilakukan oleh WP, akuntansi pulalah yang ikut
mendorong profesionalisme pemeriksa pajak dalam melakukan tugas mulia melakukan
pengujian kepatuhan terhadap WP.
Dorongan terpenting dan prinsip menurut
Hidayat (2011) adalah pemeriksaan pajak harus mengedepankan substansi akuntansi
dalam memeriksa laporan keuangan yang disampaikan oleh WP dalam SPT.
Pemeriksaan pajak yang mengabaikan substansi akuntansi punya kecenderungan
dapat menyesatkan. Bahkan Gunadi (2004) menyatakan bahwa keefektifan
administrasi perpajakan memerlukan sistem pembukuan (akuntansi) yang sehat dan
dapat dipercaya.
Menurut Pudyatmoko (2007) pemeriksa pajak
dalam melakukan tugas pemeriksaannya diharuskan memeriksa dan/atau meminjam
buku-buku dan catatan-catatan WP. Kewenangan pemeriksa tersebut bukan tanpa
alasan, tetapi kewenangan memeriksa buku-buku dan catatan-catatan akuntansi
milik WP bertujuan untuk mengungkap kebenaran substantif dari transaksi yang
telah dilaksanakan oleh WP.
Pemeriksaan pajak yang substantif akan
sangat terbantu oleh data dan laporan keuangan yang dihasilkan oleh akuntansi.
Dengan demikian membuktikan bahwa akuntansi mempunyai peran strategis dalam
pemeriksaan pajak. Terlebih bila merujuk pada tuntutan yang dikemukakan Hidayat
(2011) bahwa pemeriksaan pajak harus mengutamakan substansi akuntansi
dibandingkan dengan aspek formalnya, apabila pemeriksaan pajak memang berupaya
mengungkap kebenaran transaksi yang
dilaporkan WP dalam SPT pajaknya.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat ditarik
kesimpulan, sebagai berikut:
1.
Peran
pembukuan (akuntansi) WP diawali dengan adanya perubahan sistem dari official assessment system menjadi self assessment system yang memberi
kepercayaan kepada WP untuk menghitung pajaknya sendiri sejak tahun 1983, peran
akuntansi dan pembukuan sejalan dengan sejarah perpajakan di Indonesia.
2.
Pemeriksaan
pajak tidak boleh terjebak pada ambisi menangkap WP yang masuk perangkap
jebakan aturan formalitas dan mengabaikan bukti-bukti substantif, dari sudut pandang akuntansi,
pemeriksaan pajak yang demikian itu telah mengabaikan peran strategis akuntansi.
3. Pemeriksaan
pajak harus mengutamakan substansi akuntansi dibandingkan dengan aspek formalnya,
apabila pemeriksaan pajak memang berupaya mengungkap kebenaran transaksi yang dilaporkan WP dalam SPT pajaknya.
Daftar Pustaka
Agoes, Sukrino dan
Estralita Trisnawati. 2009. Akuntansi
Perpajakan, Edisi 2, Jakarta: Salemba Empat
Bwoga, Hananto, et. al. 2005. Pemeriksaan Pajak di Indonesia, Jakarta: Grasindo
Gunadi. 2002. Kebijakan Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Berita Pajak, No. 1464/ Tahun XXXIV/1 April 2002, hal. 43-46
Gunadi. 2004. Akuntansi Pajak. Jakarta: Grasindo
Gunadi (ed.). 2010. Panduan Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan, Jakarta: MUC
Consulting Group
Hidayat, Nur. 2003.
Laporan Keuangan: Lampiran SPT, Berita
Pajak No.1482/ Tahun XXXV/1 Januari 2003
Hidayat, Nur. 2005a. Menolak Hasil Pemeriksaan Pajak, Jurnal Perpajakan Indonesia, Vol. 5
No. 1, Agustus 2005
Hidayat, Nur. 2005b. Upaya Mengoptimalkan Penerimaan
Pajak, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Terapan,
Vol. 1 No. 2, September 2005
Hidayat, Nur. 2005c. Menghadapi Pemeriksaan Pajak, Harian Bisnis
Indonesia, 25 April 2005
Hidayat, Nur. 2009. Mengoptimalkan
Opini Akuntan dalam Pemeriksaan Pajak. Jurnal
Ekonomi Manajemen dan Akuntansi Portofolio, Vol. 6, No. 1, Mei 2009 hal.
31-40
Hidayat, Nur. 2010.
Penyimpangan Pemeriksaan Pajak, Harian
Kontan, Edisi 16 Pebruari 2010
Hidayat, Nur. 2011. Substansi
Akuntansi: Prioritas dalam Pemeriksaan Pajak. Prociding Simposium Nasional Perpajakan 3. Bangkalan: SNP 3
Universitas Trunojoyo Madura
Hidayat, Nur. 2012. Memaksimalkan Peran Opini
Akuntan dalam Penetapan dan Ketetapan Pajak. Prociding Seminar Nasional dan Call for Papers Universitas Katolik
Atmajaya Jakarta
IAI. 2010. Standar Akuntansi
Keuangan, Jakarta: Salemba Empat
Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-272/PJ/2002 tanggal 17 Mei 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan,
Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak
Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa.
Mahry, Irfitriyani.
2003. Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Kepatuhan WP dalam Melunasi Tunggakan
Pajak, Tesis Program MM – UNPAD
(tidak dipublikasikan)
Peraturan
Pemerintah Nomor 80 tanggal
28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember
2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
PMK-198/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam
Rangka Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
PMK-202/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Perarutan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER – 09/PJ/2010 tanggal 01 Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan Untuk
Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER – 47/PJ/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan Terhadap Wajib Pajak Yang Diduga Melakukan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan.
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER – 17/PJ/2009, tanggal 24 Februari 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemeriksaan Atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Lebih Bayar
Bagi Pengusaha Kena Pajak Dengan Risiko Sangat Rendah.
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-19/PJ/2008, tanggal 02 Mei 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan
Lapangan
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER – 20/PJ/2008 tanggal 02 Mei 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan
Kantor.
Pudyatmoko, Y.Sri. 2007. Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang
Pajak. Jakarta: Salemba Empat
R.K. Mautz & Hussein A. Sharaf. 1993. The Philosophy of Auditing, Florida: American Accounting
Association
Saidi, Muhammad
Djafar dan Eka Merdekawati Djafar. 2011. Kejahatan
di Bidang Perpajakan. Jakarta: Rajawali Pers
Smith, Adam.
1776. An Enquiry into the Nature and
Causes of Wealth of Nations, Cannan Edition, London: Methuen. 1904
Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-10/PJ.04/2008 tanggal 31 Desember 2008
tentang Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan.
Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-116/PJ./2009 tanggal 21 Desember 2009
tentang Kebijakan Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain.
Undang-Undang Republik
Indonesia. 2008. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
Undang-Undang Republik
Indonesia. 2009. UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan (KUP)
No comments:
Post a Comment