Nur Hidayat dan Edi Jaenudin
Abstrak
Laporan keuangan akuntansi syari’ah bila ditinjau dari segi tujuan memang sangatlah berbeda dengan akuntansi pajak, tetapi dari segi makna dan integritas, laporan keuangan akuntansi syari’ah dan akuntansi pajak mempunyai kemiripan, yakni sama-sama menghendaki kejujuran penyajinya tanpa syarat. Akuntansi syari’ah diharapkan mampu memurnikan nilai ibadah (zakat dan lain sebagainya) yang didasarkan dari laba akuntansi syari’ah. Demikian pula halnya, akuntansi pajak diharapkan mampu memberikan informasi jumlah penghasilan kena pajak, sehingga dapat dihitung jumlah kewajiban pajaknya.
Akuntansi syari’ah memiliki ciri yang melekat dan tak bisa ditawar lagi yakni menampilkan kebenaran hakiki (jujur), dan menciptakan rasa keadilan bagi semua pengguna laporannya. Hal ini, tentu menjadi sangat menarik bila dihubungkan dengan laporan pajak yang menganut sistem self assesment, karena dalam sistem self assessment WP diberikan kewenangan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang dalam SPT.
Kata kunci: akuntansi syari’ah, akuntansi pajak, kebenaran hakiki, dan self assessment
Pendahuluan
Hidayat (2004) menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan pembukuan (akuntansi) yang tertuang dalam salah satu pernyataan Allah (QS, 2:282), menunjukkan betapa pentingnya akuntansi bagi praktik ekonomi masyarakat, walaupun ada yang berpendapat kewajiban tersebut lebih ditekankan dalam rangka menunaikan kewajiban zakat [membersihkan diri dari harta yang tidak halal (QS, 87:14)]. Tetapi bila dihubungkan dengan perintah lainnya seperti perintah membayar pajak, tentu kewajiban melaksanakan akuntansi dapat diperluas pemaknaannya yang melingkupi juga kewajiban untuk membayar pajak, karena menurut Chapra (1995 dalam Hidayat, 2002a) melalaikan membayar pajak bagi masyarakat [Muslim] bukan saja dinilai sebagai suatu kejahatan kriminal, tetapi juga suatu kejahatan moral yang akan diberi sanksi oleh Tuhan, artinya melalaikan membayar pajak juga merupakan pelanggaran terhadap norma-norma agama [berdosa]. Dari titik awal ini saja sudah terlihat adanya hubungan dan keterkaitan antara kewajiban melaksanakan akuntansi dari sudut pandang syari’ah dengan kewajiban membayar pajak.
Keterkaitan laporan keuangan dengan kewajiban pajak menurut Hidayat (2002b; Jaenudin, 2004) meliputi keterkaitan dengan (1) kewajiban PPh Badan atau Orang Pribadi yang memilih menggunakan pembukuan, (2) kewajiban PPN dan PPn BM, (3) kewajiban pemotongan dan pelaporan PPh pasal 21, (4) kewajiban memotong dan melaporkan PPh pasal 23 Final dan PPh pasal 23 Tidak Final, (5) kewajiban BPHTB bila terjadi transaksi jual-beli tanah dan atau bangunan, (6) kewajiban PPh Final atas revaluasi aktiva tetap, dan (7) kewajiban pemotongan PPh pasal 23 atas pembagian dividen. Keterkaitan laporan keuangan dengan kewajiban pajak menjadi sangat menarik untuk terus dikaji dan ditelusuri untuk dapat menampilkan laporan keuangan yang benar-benar jujur dan dapat dijadikan dasar bagi perhitungan kewajiban pajak.
Kehadiran akuntansi syari’ah diharapkan dapat mewakili kebutuhan akan laporan keuangan yang benar-benar jujur, adil, dan dapat dipercaya dalam pelaksanaan kewajiban pajak yang menganut sistem self assessment, kerena laporan keuangan akuntansi syari’ah berbasiskan pada syari’ah, dan syari’ah sendiri memiliki tujuan mulia yakni “menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia” (Hidayat, 2003; Jaenudin, 2004).
Prinsip-prinsip Akuntansi Syari’ah
Syari’ah melingkupi seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik ekonomi, politik, sosial dan falsafah moral, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, bukan hal yang berlebihan bila syari’ah juga mencakup masalah ekonomi dan akuntansi (Muhammad, 2002), bahkan juga berkait dengan masalah pajak (lihat Hidayat, 2002a). Wan Ismail Wan Yusoh (2001 dalam Harahap, 2001) mengemukakan beberapa syarat sebagai dasar-dasar Akuntansi Syari’ah, sebagai berikut: (1) benar (truth) dan sah (valid), (2) adil (justice), yang berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan peruntukannya, diterapkan terhadap semua situasi dan tidak bias, harus dapat memenuhi kebutuhan minimum yang harus dimiliki oleh seseorang, (3) kebaikan (benevolence/ihsan), harus dapat melakukan hal-hal yang lebih baik dari standar dan kebiasaan. Sebenarnya prinsip-prinsip akuntansi konvensional telah memasukkan aspek-aspek seperti yang diutarakan di atas hanya saja prinsip conservatism yang selalu membela kepentingan pemilik modal pada akhirnya akan menjauhkan dari prinsip keadilan bagi semua pengguna laporannya, artinya dalam praktik akuntansi konvensional terdapat hal-hal yang tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip akuntansi syari’ah (Adnan, 1997 dalam Harahap, 2001), kerena pembelaan yang berlebihan pada kepentingan tertentu tidak sejalan dengan tujuan syari’ah.
Muhammad (2002) mencoba merumuskan prinsip-prinsip akuntansi syari’ah dengan membagi dua bagian: (1) berdasarkan pengukuran dan penyingkapan, dan (2) berdasarkan pemegang kuasa dan pelaksana.
Pertama, prinsip akuntansi syari’ah berdasarkan pengukuran dan penyingkapannya terdiri dari, (1) zakat: penilaian bagian-bagian yang dizakati diukur secara tepat, dibayarkan kepada mustahik sesuai yang dikehendaki oleh Al-Qur’an (delapan asnaf) atau zakat dapat pula disalurkan melalui lembaga zakat yang resmi, (2) bebas bunga; entitas harus menghindari adanya bunga dalam pembebanan-pembebanan dari transaksi yang dilakukan, menghindari hal ini akan lebih tepat bila entitas berbentuk bagi hasil atau bentuk lain yang sifatnya tidak memakai instrumen bunga, (3) halal; menghindari bentuk bisnis yang berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan oleh syari’ah, seperti perjudian, alkohol, prostitusi, atau produk yang haram lainnya. Menghindari transaksi yang bersifat spekulatif, seperti bai’ al-gharar; munabadh dan najash.
Kedua, prinsip akuntansi syari’ah berdasarkan pemegang kuasa dan pelaksana terdiri dari: (1) ketaqwaan; mengakui bahwa Allah adalah penguasa tertinggi. Allah melihat setiap gerak yang akan diperhitungkan pada hari pembalasan. Dapat membedakan yang benar (al-haq) dan yang salah (al-bathil). Mendapatkan bimbingan dari Allah dalam pengambilan keputusan. Mencari ridha dan barakah Allah dalam menjalankan aktivitas, (2) kebenaran; visi keberhasilan dan kegagalan yang meluas ke dunia mencapai maslahah. Menjaga dan memperbaiki hubungan baik dengan Allah (hablun min Allah) dan menjaga hubungan dengan sesama manusia (hablun min al-nas), (3) pertanggungja-waban; pertanggungjawaban tertinggi adalah kepada Allah, berlaku amanah. Mengakui kerja adalah ibadah yang selalu dikaitkan dengan norma dan nilai “syari’ah”. Merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Berbuat adil kepada sesama ciptaan Allah, bukan hanya kepada manusia.
Merujuk dari investigasi yang dilakukan oleh Syahatah (2001) kaidah akuntansi yang terpenting berdasarkan hasil istimbath dari sumber-sumber hukum Islam (syari’ah), adalah sebagai berikut:
1. Independensi jaminan keuangan. Perusahaan hendaklah mempunyai sifat yang jelas dan terpisah dari pemilik perusahaan.
2. Kesinambungan aktivitas. Kaidah ini memandang bahwa aktivitas suatu per-usahaan itu mesti berkesinambungan (terus beraktivitas).
3. Hauliyah (pentahunan/penetapan periode). Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an (9:36) “sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan ...” jadi periode akuntansi syari’ah lebih tepat memakai putaran tahun, karena hal tersebut juga berhubungan dengan nisab zakat yang menggunakan bilangan tahun.
4. Pembukuan langsung dan lengkap secara detail. Kaidah ini menghendaki pembukuan secara rinci dalam mencatat transaksi, dimuali dari tanggal, bulan, tahun, dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan, hal ini didasarkan pada perintah Allah dalam Al-Qur’an (2:282) “uktubuhu” perintah mencatat, kemudian “ila ajalin musamma” menunjukkan suatu tanggal kejadian tertentu.
5. Pembukuan disertai dengan penjelasan atau penyaksian obyek. Kaidah ini menghendaki pembukuan semua aktivitas ekonomi keuangan berdasarkan dokumen-dokumen yang mencakup segi bentuk dan isi secara keseluruhan. Dalam fikih Islam, bentuk ini disesbut pencatatan dengan kesaksian.
6. Pertambahan laba dalam produksi, serta keberadaannya dalam perdagangan. Dalam fikih islam, laba dianggap sebagai perkembangan pada harta pokok yang terjadi dalam masa haul (periode akuntansi), baik setelah harta itu diubah dari barang menjadi uang meupun belum berubah. Kaidah inilah yang dipakai dalam menghitung zakat mal.
7. Penilaian uang berdasarkan emas dan perak. Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa emas dan perak adalah sebagai wadah sentral dalam penetapan harga (QS, 12:20, 3:75; 9:34)
8. Prinsip penilaian harga berdasarkan nilai tukar yang sedang berlaku. Implementasi kaidah ini untuk memelihara keselamatan dan keutuhan modal pokok untuk perusahaan dari segi tingginya volume proses penukaran barang dan kemampuan barang itu untuk berkembang dan menghasilkan laba.
9. Prinsip perbandingan dalam menentukan laba. Prinsip ini ditujukan untuk menghitung dan mengukur laba atau rugi pada perusahaan mudharabah yang kontinu, serta menentukan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya yang menghen-daki perbandingan antara beban-beban dan uang masuk selama periode tertentu.
10. Prinsip muwa’amah (keserasian) antara pernyataan dan kemaslahatan. Catatan akuntansi harus menjelaskan keterangan-keterangan yang telah dipublikasikan secara wajar, yaitu sesuai dengan kesanggupan dan situasi serta metode yang digunakan yang dapat melindungi kemaslahatan serta tidak menimbulkan kemudharatan.
Tujuan Laporan Keuangan Akuntansi Syari’ah
Sesuai dengan tujuan syari’ah yang berusaha untuk menciptakan maslahah terhadap seluruh aktivitas manusia, tidak terkecuali dalam aktivitas ekonomi yang didalamnya juga melingkupi aktivitas akuntansi, maka akuntansi yang direfleksikan dalam laporan keuangan memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan tujuan syari’ah. Untuk merealisasikan tujuan tersebut Harahap (1999) menyebutkan bahwa pemberian informasi akuntansi melalui laporan keuangan harus dapat menjamin kebenaran, kepastian, keterbukaan, keadilan diantara pihak-pihak yang mempunyai hubungan ekonomi hal ini dipertegas dengan pernyataan Harahap (2001) selanjutnya, bahwa inti prinsip ekonomi syari’ah menurut Al-Qur’an adalah: keadilan, kerjasama, keseimbangan larangan melakukan transaksi apapun yang bertentangan dengan syari’ah, eksploitasi dan segala bentuk kedhaliman (penganiayaan). Secara tegas Triyuwono (2000) menyampaikan bahwa tujuan akhir Akuntansi Syari’ah [laporan keuangan] adalah untuk mengikat para individu pada suatu jaringan etika dalam rangka menciptakan realitas sosial (menjalankan bisnis) yang mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Tuhan, yang merupakan rangkaian dari tujuan syari’ah yaitu mencapai maslahah (Hidayat, 2002c).
Tujuan akuntansi syari’ah sangat luas, namun demikian penekanannya adalah pada upaya untuk merealisasikan tegaknya syari’ah dalam kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh manusia (Adnan, 1997, Triyowono, 2000 dalam Harahap, 2001). Meskipun demikian Adnan (1996) membagi tujuan akuntansi syari’ah bila dilihat dari idealisme syari’ah dapat menjadi dua tingkatan yaitu (1) tingkatan ideal, dan (2) tingkatan pragmatis. Pada tataran ideal tujuan Akuntansi Syari’ah adalah sesuai dengan peran manusia dimuka bumi dan hakekat pemilik segalanya (QS, 2:30, 3:109, 5:17, 6:165), maka sudah semestinya yang menjadi tujuan ideal dari laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Tuhan Sang Pemilik Hakiki, Allah swt. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu segalanya, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi perintah syari’ah. Dengan kata lain, akuntansi [laporan keuangan] terutama harus berfungsi sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seseorang hamba atas perintah Tuhan. Tujuan pragmatis dari akuntansi syari’ah [laporan keuangan] diarahkan pada upaya menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan (Adnan, 1999 dalam As’udi dan Triyuwono, 2001).
Khan (1992) mengidentifikasi tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah, sebagai berikut:
1. Penentuan laba-rugi yang tepat. Kehati-hatian harus dilaksanakan dalam menyiapkan laporan keuangan agar dapat mencapai hasil yang sesuai dengan syari’ah, dan konsisten dalam pemilihan metode yang digunakan sehingga dapat menjamin kepentingan semua pihak (pengguna laporan keuangan). Penentuan laba rugi yang tepat juga sangat urgen dalam rangka menghitung kewajiban zakat, bagi hasil, dan pembagian laba kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Meningkatkan dan menilai efisiensi kepemimpinan. Sistem akuntansi harus mampu memberikan standar untuk menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijakan-kebijakan yang sehat.
3. Ketaatan pada hukum syari’ah. Setiap aktivitas yang dijalankan oleh entitas usaha harus dapat dinilai hukum halal-haramnya.
4. Keterikatan pada keadilan. Dalam rangka mewujudkan tujuan utama dari syari’ah adalah menciptakan maslahah, dan keadilan adalah bagian yang terpenting dalam mencapai maslahah, maka penegakan keadilan adalah mutlak adanya.
5. Melaporkan dengan benar. Entitas usaha selain bertanggung jawab terhadap pemilik juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat secara keseluru-han. Dengan demikian berarti pula bahwa entitas usaha memiliki tanggung jawab sosial yang melekat. Informasi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk melaporkan hal ini.
6. Adaptable terhadap perubahan. Peranan akuntansi yang sangat luas menuntut akuntansi agar peka terhadap tuntutan kebutuhan, agar akuntansi senantiasa dapat difungsikan oleh masyarakat sesuai tuntutan kebutuhannya.
Dalam merealisasikan tujuan akuntansi syari’ah, Harahap (2000) membagi fungsi akuntansi syari’ah sebagai berikut: (1) untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, (2) untuk memberikan informasi, (3) untuk melakukan pencatatan, dan (4) untuk memberikan pertanggungjawaban.
Dalam pendekatan sumber-sumber fikih Islam dan riset ilmiah Akuntansi Syari’ah, Syahatah (2001) membagi tujuan Akuntansi Syari’ah [laporan keuangan] dalam 1) hifzul amwal (memelihara uang), para ahli tafsir menafsirkan kata faktubuhu (QS,2:282) yang berarti “tuliskanlah” perintah tersebut adalah untuk menuliskan satuan uang (nilai dari harta), 2) bukti tertulis [pencatatan] ketika terjadi perselisihan, Ibnu Abidin dalam kitabnya al-amwal yang dikutip (Syahatah, 2001) si penjual, kasir, dan agen adalah dalil (hujjah yang dapat dijadikan bukti) menurut kebiasaan yang berlaku, diperkuat dengan firman Allah (2:282) “... [pencatatan itu] lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu ...”, 3) dapat membantu dalam pengambilan keputusan, salah satu fungsi pencatatan adalah menghilangkan keragu-raguan yang berarti pula bahwa dengan dasar catatan yang dapat dipercaya akan dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik, dan 4) menentukan besarnya peng-hasilan yang wajib dizakati. Pada periode awal akuntansi tujuan laporan keuangan lebih ditekankan pada pemenuhan kewajiban zakat.
Akuntansi syari’ah juga memiliki tujuan yang sangat prinsip, yakni pemenuhan amanah. Pemenuhan amanah tersebut diimplementasikan dalam pelaksanaan bagi hasil, yang merupakan ciri melekat dalam praktik ekonomi syari’ah, untuk melaksanakan bagi hasil yang benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi syari’ah tidak ada cara lain selain menyajikan laporan keuangan akuntansi syari’ah yang benar-benar terjaga kejujurannya.
Dari beberapa pendapat mengenai tujuan akuntansi syari’ah [laporan keuangan] yang memiliki dua titik tekan, tekanan ideal adalah pemenuhan kewajiban yang langsung berhubungan kepada Allah seperti pemenuhan kewajiban zakat, dan tekanan praktis adalah memperoleh informasi dari aktivitas usaha yang diperlukan oleh pemilik (stakeholder) dan tujuan penting lainnya adalah mewujudkan hubungan sosial yang harmonis tanpa sengketa dan perselisihan, serta memenuhi rasa keadilan semua pihak (amanah).
Prinsip-prinsip Akuntansi Pajak
Menurut Gunadi (2003) akuntansi pajak secara prinsipil dipengaruhi oleh fungsi perpajakan, karena memang kehadiran akuntansi pajak dimaksudkan untuk dapat menghitung berapa jumlah pajak yang menjadi kewajiban WP.
Prinsip-prinsip akuntansi pajak paling tidak mengandung penekanan sebagai berikut:
1. Pembukuan atau pencatatan akuntansi pajak harus diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya (Pasal 28 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2007.
2. Pembukuan (akuntansi pajak) harus diselenggarakan secara taat asas dan menggunakan pendekatan stelsel akrual atau stelsel kas (Pasal 28 ayat (5) UU No. 28 Tahun 2007)
3. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal (representasi dari neraca) serta catatan penghasilan dan biaya (representasi dari daftar laba-rugi), serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak terutang (Pasal 28 ayat (7) UU No. 28 Tahun 2007).
Diluar dari ketentuan prinsipil dalam akuntansi pajak dapat mengikuti pola pembukuan umum (akuntansi komersial), bahkan akuntansi komersial telah membuat standar khusus mengenai akuntansi pajak penghasilan (PSAK No. 46), konsep-konsep akuntansi pada umumnya dapat diterima dalam pembukuan akuntansi pajak, kecuali ada ketentuan pajak yang mengatur lain, misalnya dalam hal metode penghitungan penyusutan, penilain persediaan, dan lain-lain.
Tujuan Laporan Akuntansi Pajak
Dalam Pasal 4 ayat (4) UU No. 28 Tahun 2007 meminta WP Badan atau WP Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan untuk melengkapi SPT Tahunan Pajak penghasilan dengan laporan keuangan yang serupa dengan neraca dan perhitungan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Dengan tidak adanya ketegasan laporan keuangan seperti apa yang menjadi lampiran SPT dalam praktek terdapat pendapat yang berbeda antara laporan keuangan fiskal dengan laporan keuangan komersial (Gunadi, 2003). Namun demikian, bila melihat format SPT Tahunan yang mulai tahun 2001 yang menyertakan koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif sebanarnya cukup menegaskan bahwa laporan keuangan yang dilampirkan dalam penyampaian SPT.
Tujuan utama dari penyajian laporan keuangan akuntansi pajak adalah untuk menyajikan informasi sebagai bahan menghitung besarnya penghasilan kena pajak, dan menentukan besarnya DPP dalam PPN dan PPn BM. Dalam sistem self assesment, WP harus menghitung sendiri utang pajaknya sehingga laporan keuangan itu sangat membantu penghitungan. Selain untuk kebutuhan informasi manajemen, laporan keuangan juga dipakai sebagai bahan untuk mengetahui dan menilai tingkat kepatuhan WP oleh administrasi, terutama dalam aktivitas pemeriksaan, bahkan penyidikan pajak. Pada pemeriksaan dan penyidikan laporan keuangan merupakan sasaran utama eksaminasi. Sebagai pendukung SPT laporan keuangan dari sistem self assesment merupakan laporan pertanggung-jawaban atas kepercayaan menghitung pajak terutang yang diserahkan kepada WP (Gunadi, 2003).
Dalam Pasal 3 ayat (6) dinyatakan bahwa semua lampiran dalam SPT merupakan bagian yang tak terpisahkan dari SPT dan merupakan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh WP yang menyelenggarakan pembukuan. Diperkuat dengan ketentuan dalam ayat (7) SPT dianggapa tidak disampaikan apabila tidak atau tidak sepenuhnya dilampirkan dengan keterangan dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) (dalam Gunadi, 2003).
Keterkaitan Akuntansi Syari’ah dengan Laporan Pajak
Menurut Hidayat (2003) penerapan full disclousure yang dikehendaki oleh akuntansi syari’ah adalah keinginan memurnikan laporan keuangan dari unsur-unsur ketidakbenaran, kebohongan, dan manipulasi, baik manipulasi yang kasar dan kasat mata maupun manipulasi yang halus dan sistematis, karena syari’ah tidak saja dimaksudkan memenuhi tuntutan formal tetapi lebih dari itu syari’ah diharapkan mampu menyuguhkan kebenaran hakikat (substansial). Dengan demikian, dengan sendirinya menutup celah rekayasa dan berbagai bentuk manipulasi laporan keuangan. Hal ini tidak saja akan menyuguhkan informasi yang dapat dipercaya bagi pihak-pihak yang memebutuhkan laporan keuangan tetapi berbagai pihak akan dapat diuntungkan dengan informasi ini, tidak terkecuali bagi institusi perpajakan (DJP) yang menjadikan laporan keuangan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar jumlah penghasilan kena pajak (Pasal 28 UU No. 16 Tahun 2000), dan selanjutnya memperhitungkan kewajiban pajak, secara tepat dan sesuai dengan kewajiban yang memang menjadi tanggungan WP.
Jaenudin (2004) menyatakan dengan adanya laporan keuangan akuntansi syari’ah, adanya WP yang merekayasa dan memanipulasi laporan keuangan lampiran SPT sesungguhnya akan dapat teratasi, karena dalam akuntansi syari’ah penekanan kebenaran (objective) dan pengungkapan secara menyeluruh (full disclousure) adalah menjadi komponen yang mutlak adanya (lihat pula Hidayat, 2004).
Sistem self assesment dalam pembebanan kewajiban pajak yang memberi kepercayaan kepada WP untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya, mengandung beberapa kelemahan bila tidak didukung oleh pribadi-pribadi WP yang jujur. Keberadaan laporan keuangan akuntansi syari’ah diharapkan dapat menjadi “dewa penolong” yang akan me-match-kan dengan sistem self assesment yang berbasis pada kejujuran.
Kesamaan akuntansi syari’ah dengan akuntansi pajak adalah sama-sama mengandalkan kejujuran. Basis kejujuran merupakan penopang tegaknya syari’ah dan penopang pelaksanaan sistem self assesment. Kehadiran akuntansi syari’ah dapat menjadi substitusi yang dapat diandalkan pada saat fiskus kehabisan akal untuk mencari format laporan keuangan lampiran SPT yang benar-benar dapat dipercaya.
Penutup
Rujukan utama akuntansi syari’ah adalah tujuan mulia syari’ah yakni “mencip-takan kemaslahatan”, dan hasil kongkrit dari akuntansi syari’ah adalah laporan keuangannya. Bila selanjutnya laporan ini dijadikan dasar dalam penghitungan kewajiban pajak [dalam SPT], hasil yang dapat dipetik adalah laporan keuangan yang jauh dari rekayasa dan kebohongan. Ini artinya pendapatan negara dari sektor pajak akan benar-benar dapat diamankan dan tentu saja akan mencerminkan kemampuan masyarakat dalam membayar pajak, rasio pendapatan negara dari sektor pajak dengan PDB menjadi singkron, dan disini pula akan menciptakan rasa keadilan masyarakat yang tinggi sesuai dengan asas pembebanan pajak yang didasarkan atas “daya pikul”, bukan pembebanan pajak bergantung dari “kemampuan memanipulasi laporan keuangan lampiran SPT”.
Sistem self assesment jelas bertopang dan mengandalkan pada laporan keuangan yang berbasis kejujuran, tanpa itu jelas akan sangat sulit untuk mengharapkan sistem self assesment menjadi efektif. Bila demikian, tidak salah kiranya laporan akuntansi syari’ah dikatakan memiliki keterkaitan yang erat dengan laporan pajak.
Daftar Pustaka
Adnan, M. Akhyar. 1996. An Investigation of Accounting Concepts an Practice, Disertasi Doktor (tidak dipublikasikan)
Adnan, M. Akhyar. 1997. The Shari’ah Islamic Bank and Accounting Concept, Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 1 No. 1 Mei 1997
Adnan, M. Akhyar. 1999. Akuntansi Syari’ah: Sebuah Tinjauan, Seminar Akuntansi Syari’ah, Pusat Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam dan Bank Indonesia
Al-Qur’an
Chapra, M. Umar. 1995. Islam and The Economics Challenge, UK: The Islamic Foundation dan The International Institute of islamic Thought
Gunadi. 2003. Akuntansi Pajak, Jakarta:Grasindo
Harahap, S.Syafri. 1999. Akuntansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Harahap, S.Syafri. 2001. Menuju Suatu Teori Akuntansi Islam, Jakarta: Pustaka Quantum
Hidayat, Nur. 2002a. Perpajakan dalam Islam. Jurnal Perpajakan Indonesia Vo. 1 No. 8 Maret 2002
Hidayat, Nur. 2002b. Laporan Keuangan: Dalam Perspektif Perpajakan. Jurnal Perpajakan Indonesia Vol. 2 No. 1 Agustus 2002
Hidayat, Nur. 2002c. Urgensi Laporan Keuangan (Akuntansi Syari’ah) dalam Praktik Ekonomi Islam, Simposium Nasional I Sistem Ekonomi Islami, P3EI FE UII, Yogyakarta, 13-14 Maret 2002
Hidayat, Nur. 2003. Laporan Keuangan Akuntansi Syari’ah: Solusi Manipulasi Laporan Pajak, Jurnal Perpajakan Indonesia Vol. 2 No. 6 Januari 2003
Hidayat, Nur. 2004. Prinsip-Prinsip Akuntansi Syari’ah: Suatu Alternatif Menjaga Akuntabilitas Laporan Keuangan, Kumpulan Materi SNA VII Denpasar Bali 3-4 Desember 2004, hal. 840-861
Jaenudin, Edi. 2004. Hubungan Akuntansi Syari’ah dengan Akuntansi Pajak, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1 No. 1, Agustus 2004
Khan, Muhammad Akram. 1992. An Introduction to Islamic Economics, Islamabad: International Institute of islamic Thought and Institute of Policy Studies
Muhammad. 2002. Pengantar Akuntansi Syari’ah, Jakarta: Salemba Empat
Syahatah, Husein. 2001. Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, Jakarta: Akbar Media Sarana
Triyuwono, Iwan dan Moh. As’udi. 2001. Akuntansi Syari’ah Memformulasikan Konsep Laba dalam Konteks Metafora Amanah, Jakarta: Salemba Empat
Triyuwono, Iwan. 2000. Organisasi dan Akuntansi Syari’ah, Yogyakarta: LkiS
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang KUP
Wan Yusoh, Wan Ismail. 2001. Islamic Accounting, International Conference on Islamic Banking and Finance, LAP dan EKABA FE USAKTI, Jakarta, 11-12 Juni 2001
No comments:
Post a Comment