Oleh: Nur Hidayat
Kandidat Doktor Akuntansi PPs FE UNPAD Bandung
Dimuat di Harian Kontan, 16 Pebruari 2010
Sengketa pajak biasanya diawali dari adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat antara WP dengan Fiskus atas pajak terutang. WP dapat mengambil sikap dan bahkan dapat mempersengketakan dengan mengajukan keberatan atas koreksi dari Fiskus yang telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak.
Banyak WP yang merasa tidak berani (kurang pede) untuk mengajukan keberatan sekalipun WP mempunyai bukti dan alasan yang kuat untuk menolak hasil pemeriksaan, hal ini dapat terjadi karena berbagai alasan, tetapi alasan yang paling sering dilontarkan oleh WP adalah tidak mau menghadapi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dianggap banyak menyita waktu dan pikiran, sehingga WP banyak yang ingin cepat selesai permasalahan pajaknya dengan menerima saja (pasrah) atas hasil pemeriksaan, sekalipun terkadang koreksinya membebani.
Anggapan sebagian WP mengenai pengajuan keberatan yang menyita waktu dan pikiran sebenarnya tidak sepenuhnya benar atau bahkan boleh dibilang keliru, karena secara hukum telah diatur dalam UU KUP yang menyatakan bahwa atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, dan SKPN, WP dapat mengajukan keberatan, itu artinya sangat dimungkinkan dan syah, bila WP menolak hasil pemeriksaan dengan mengajukan keberatan.
Perlu diketahui pula, bahwa DJP harus memberi keputusan atas pengajuan keberatan yang diajukan WP tersebut, paling lama 12 bulan. Apabila setelah lewat waktu 12 bulan belum juga ada keputusan, pengajuan keberatan WP dianggap diterima (Pasal 26 ayat [1] UU KUP).
Apabila WP benar-benar mencermati substansi dari Pasal 26 ayat [1] ini, seharusnya WP merasa diuntungkan. Alasannya, bisa saja Fiskus karena kesibukan-nya, tidak dapat memanfaatkan waktu yang 12 bulan tersebut untuk mempelajari kasus WP sehingga masa 12 bulan terlampaui, keberatan WP tidak sempat diproses apalagi dijawab dan itu artinya keberatan WP diterima.
Memang, ada beberapa kemungkinan keputusan keberatan yang dapat diberikan oleh Fiskus kepada WP yang mengajukan keberatan. Keputusan yang paling dinantikan adalah menerima seluruhnya, tetapi Fiskus dapat pula menerima sebagian saja, dan bisa saja Fiskus menolak, atau bahkan menambah jumlah pajak terutang (Pasal 26 ayat [3] UU KUP). Keputusan menambah jumlah pajak terutang yang disebut terakhir yang sedikit mengganggu nyali WP untuk mengajukan keberatan, sehingga seolah-olah menjadi kecil kemungkinan WP menolak hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak, bila dilihat dari pengertian secara definitif adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Bwoga, et. al., 2005)
Sistem self assesment dalam peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia yang mulai diterapkan sejak reformasi sistem perpajakan tahun 1983 sangat berpengaruh bagi WP, satu sisi WP diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang tetapi di sisi lain mengharuskan WP untuk siap menghadapi pengujian kepatuhan atas pajak yang dilaporkan.
Pemeriksaan sampai saat ini masih dipandang sebagai momok yang menakutkan dan terkesan angker bagi WP, harus dipahami sebagai hal yang wajar, karena selama ini masih sangat banyak WP yang tidak memahami apa sesungguhnya hakekat pemeriksaan itu sendiri, atau karena pengalaman empiris WP terhadap pemeriksaan memang menunjukkan fakta yang demikian. Hal ini bisa terjadi karena masih adanya oknum fiskus (pemeriksa) yang berprilaku menakutkan sehingga image pemeriksaan sebagai “hantu perpajakan” sulit untuk dihilangkan.
Dalam praktek perpajakan yang sehat seharusnya pemeriksaan tidak lagi dipandang sebagai hal yang menakutkan, hal ini dapat dibangun melalui: Pertama, meningkatkan profesionalisme petugas pemeriksa melalui pendidikan pemeriksaan pajak berkelanjutan dan komprehensif yang tidak hanya memahami tugasnya sebagai pemeriksa tetapi juga memahami siapa yang diperiksa, sejalan dengan yang dinyatakan reformasi ditubuh DJP yang mulai menempatkan dirinya sebagai agen pelayanan kepada WP, sehingga DJP dituntut untuk memahami WP secara utuh, atau diistilahkan “knowing your tax payer”.
Kedua, meningkatkan penanaman moral dan etika bagi pemeriksa, sehingga pemeriksa dapat menghilangkan image pemeriksaan yang menakutkan karena ulah oknum Fiskus yang tidak bermoral, memeras dan mengintimidasi WP, dan yang terpenting lagi adalah hilangkan target pribadi pemeriksa yang ingin memperoleh “pendapatan ekstra” atau dalam bentuk lain “kenaikan pangkat/penghargaan”.
Penyimpangan Tujuan Pemeriksaan
Sejak diterapkannya sistem self assesment dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia, peranan positif WP dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya menjadi semakin mutlak diperlukan. Dengan sistem ini, WP dipercaya penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Sebagai konsekuensinya DJP berkewajiban untuk melakukan pelayanan, pengawasan, pembinaan, dan penerapan sanksi perpajakan. Salah satu bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap WP tersebut adalah melalui pemeriksaan pajak.
Dengan demikian, pemeriksaan pajak tidak lain merupakan pagar penjaga agar WP tetap berada pada koridor peraturan perpajakan. Selanjutnya, DJP berkewajiban pula untuk melakukan penegakan hukum (law enforcement) agar proses dan pelaksanaan sistem self assessment tersebut tetap berada pada aturannya, baik undang-undang maupun peraturan lainnya. Penegakan hukum ini menjadi upaya untuk menciptakan keadilan melalui penerapan peraturan perpajakan secara fair, konsisten, dan konsekuen.
Pengawasan terhadap WP perlu dilakukan guna meningkatkan kepatuhan, yang diharapkan akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak (Mahry, 2003). Tapi pengawasan yang dilakukan selama ini belum maksimal karena tidak didukung data yang diperlukan, belum lagi adanya pemeriksaan yang masih disalahgunakan oleh “oknum pemeriksa” untuk memeras WP (Nur Hidayat, 2005a). Untuk mengatasi hal ini, DJP telah melakukan perjanjian kerjasama dengan berbagai pihak, mulai dari Pemda seluruh Indonesia, perguruan tinggi, dan pihak lainnya.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, DJP juga melakukan upaya intensifikasi (mencari sumber-sumber objek pajak yang belum tergarap), ekstensifikasi (menjaring subjek-subjek pajak baru yang selama ini belum terdaftar sebagai WP), dan penyisiran (penelusuran ke tempat-tempat sentra bisnis tertentu yang potensial) (Nur Hidayat, 2005b). Hal ini, diperkuat dengan pernyataan Mantan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution yang dilansir oleh harian Bisnis Indonesia (Nopember 2006) bahwa pemerintah (DJP) akan meningkatkan persentase jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) yang akan diperiksa. Untuk mendukung rencana tersebut DJP akan menambah tenaga fungsional pemeriksa.
Fungsi pemeriksaan pajak adalah untuk melaksanakan tujuan pemeriksaan pajak, yakni meningkatkan kepatuhan (menguji kepatuhan WP seperti yang tertuang dalam Pasal 29 UU KUP), namun beberapa tahun terakhir tujuan pemeriksaan bukan saja sekedar menguji kepatuhan, tetapi tujuan yang lebih pragmatis dan lebih penting adalah menjalankan fungsi pemajakan (fungsi budgeter) sebagai sumber penerimaan negara.
Dari sinilah awal timbul masalah, Fiskus yang melakukan pemeriksaan di lapangan tidak terkendali, sehingga dapat bertindak melampaui batas dalam melakukan pemeriksaan, seringkali ditemui Fiskus menggunakan kekuasaannya menafsirkan UU atau ketentuan lainnya yang dapat menjerat WP untuk dikenakan sanksi (diterbitkan SKPKB atau SKPKBT), dengan harapan terjadi penambahan penerimaan.
Fiskus lebih melihat aspek formalnya daripada aspek materialnya, padahal seharusnya logika universal dalam pemeriksaan (audit) yang digunakan acuan adalah ”substantive over form” artinya apabila ditemukan bukti-bukti yang mendukung kebenaran transaksi yang dilakukan oleh WP secara material harus dianggap benar, walaupun terdapat kekeliruan yang bersifat formal, sebagai contoh apabila pemeriksa menemukan adanya Pajak Masukan (PM) yang secara formal cacat ”tidak fatal” setelah ditelusuri melalui tindakan konfirmasi kepada lawan transaksinya dan sebagainya, PM tersebut benar-benar ada dan telah dilunasi pajaknya, seharusnya Fiskus secara bijak mengakui PM tersebut untuk tetap dapat dikreditkan, toh... Fiskus dalam hal ini tidak dirugikan, karena tidak ada penerimaan pajak yang terganggu.
Kenyataannya, banyak ditemukan kasus seperti di atas mampu memaksa WP untuk menyerah (menerima koreksi yang dilakukan oleh Fiskus). Sehingga Fiskus seolah telah menganggap bahwa jeratan ini terbukti ampuh untuk menaikkan penerimaan, terbukti banyak WP yang diperiksa dan dikoreksi SPTnya pada akhirnya menyerah tanpa perlawanan yang berarti (tidak mau melakukan upaya hukum seperti mengajukan keberatan, apalagi untuk bersengketa dengan Fiskus dengan melakukan upaya-upaya lanjutan). Bila demikian, sebenarnya telah terjadi penyimpangan dalam tujuan pemeriksaan pajak.
Custom Search
Monday, March 15, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)